Toriq Hadad Wartawan Tempo
SEPERTI Menteri BUMN Dahlan Iskan, sebenarnya saya juga sudah lama ingin ngamuk di jalan tol Jakarta. Bayangkan betapa tersiksa setiap hari didera macet. Jalan bebas hambatan telah lama berubah menjadi "jalan berhambatan".
Sering tebersit untuk bertindak gila-gilaan. Misalnya naik ke atap mobil lalu membentangkan poster: "Bebaskan Kami dari Kemacetan!" Atau berteriak-teriak agar petugas tol menghentikan arus kendaraan masuk ketika jalan berbayar itu berubah menjadi kubangan macet. Tapi saya takut dikira gila beneran, jadi saya urungkan niat itu.
Paling-paling yang pernah saya lakukan hanya menyuruh sopir menghentikan mobil, lalu melompati pagar tol, terus naik ojek. Tapi saya bukan menteri atau selebritas. Tak patut juga meminta reporter di tempat kerja saya untuk meliput. Itu konflik kepentingan. Jadi, urusan lompat pagar tol tak menjadi berita.
Menteri Dahlan belum sampai ngamuk ketika ia membuang kursi di loket pintu tol Senayan--petugas loket rupanya terlambat datang, sedangkan antrean mobil sudah panjang. Paling-paling ia bisa dibilang marah ketika membuka paksa palang pintu dan meloloskan sekitar seratus mobil. Jelas peristiwa ini layak berita. Dialah menteri pertama yang menggantikan tugas penjaga tol. Seandainya menteri yang juga wartawan itu meneruskan marahnya dengan memanggil direksi Jasa Marga untuk berpanas-panas di pintu tol Senayan bersamanya, pasti jadi berita sangat besar.
Saya tak percaya Dahlan mencari sensasi. Begitu juga ketika ia makan soto di pinggir jalan atau naik ojek ke Istana Bogor. Ketika menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos, saya dengar dia sering menginap di percetakan mengawasi koran dicetak sampai subuh. Bahwa Dahlan kelihatan berbeda, itu lantaran selama ini belum ada menteri yang tiba-tiba beraksi bagai "polisi" lalu lintas. Ia memang baru bikin program antrean pintu tol tak boleh lebih dari lima mobil.
Dahlan pantas marah kepada anak buahnya yang lalai. Tapi sesungguhnya banyak hal yang membuat kita ingin marah atau ngamuk. Lelet benar pemerintah memutuskan naik-tidaknya harga BBM, sementara pedagang lebih berani duluan menaikkan harga. Korbannya rakyat kecil, yang katanya akan mendapat bantuan langsung tunai. Tapi soal BLT itu pun membuat orang kecil, seperti tukang pijat langganan saya, ngamuk. "Gak jelas tuh, Pak, yang namanya BLT. Saya yang jelas miskin kagak dapet, keluarganya RT ama RW malah dapet." Saya memekik kesakitan, sebab Pak Uwas menyalurkan geramnya dengan menekan keras-keras urat kaki saya.
Masih banyak soal yang bikin kita ngamuk. Pemerintah terus berkampanye memerangi korupsi, tapi Komisi Pemberantasan Korupsi terus juga dicoba dipreteli kewenangannya oleh DPR. Sudah begitu, pengadilan malah mematahkan aturan tentang pengetatan syarat bebas koruptor. Saya tak pernah dengar ada negara di dunia ini yang menjalankan beleid "dua muka" berbarengan: memberantas korupsi seraya bermanis-manis kepada koruptor.
Puluhan juta penggila bola pasti juga ingin ngamuk dengan kisruh PSSI yang berkepanjangan. Presiden meminta PSSI berhenti ribut. Imbauan ini tak akan mempan. Solusi bukan di tangan PSSI. Tindakan tepat sasaran diperlukan. Panggil saja dua orang yang paling berpengaruh dalam kemelut bola: Nirwan Bakrie dan Arifin Panigoro. Karena Nirwan sudah sekian tahun terakhir memikirkan bola, ada baiknya ia disuruh rehat dan merelakan Arifin masuk gelanggang. Kalau Arifin juga tak mampu, Nirwan boleh masuk lapangan lagi.
Solusi "kedahlan-dahlanan" bisa dijalankan, juga untuk memecahkan banyak kebuntuan di negeri ini. Belum tentu berhasil, tapi belum tentu juga gagal. Setidaknya, sebagian keinginan kita untuk ngamuk tersalurkan oleh sepak terjangnya.