Toriq Hadad
Wartawan Tempo
USAHA saya menghindar dari Dul Simo, seorang kawan lama, akhirnya gagal. Dia memergoki saya di tempat tukang pangkas rambut langganan saya. Bukan apa-apa. Dia sedang gandrung bicara topik yang justru paling tak ingin saya bahas sekarang ini: calon presiden 2014.
Benar saja. Dia langsung bicara soal itu. "Jadi, kita pilih presiden yang tua atau muda, Mas?"
Saya jawab asal-asalan, "Pilih Barack Obama."
Dulu Dul Simo menganggap Presiden Amerika yang masuk Gedung Putih pada usia 47 tahun itu terlalu muda. Dia pendukung berat Gus Dur, yang menjadi presiden pada usia 59 tahun. Saya berharap dia kesal, terus pergi, dan saya aman menikmati pijatan tukang pangkas rambut.
Ternyata Dul tak mendebat. "Kita cocok, Mas. Saya sudah punya daftar calon presiden," ujarnya, menyodorkan secarik kertas. Ada 25 nama di sana. Melihat nama sejumlah tokoh gaek, saya terpancing berkomentar. "Lo, kok orang-orang tua juga kamu daftar. Mestinya mereka masuk museum, Dul."
Dul menarik kursi lebih dekat. "Mas, sampean pilih Barack Obama. Itu cocok dengan saya, namanya berakhiran a. Coba lihat daftar saya. Tak satu pun calon yang namanya berakhir dengan o. Lupakan Sukarno, Soeharto, Megawati Soekarno, Yudhoyono. Mendatang ini bukan lagi era o. Kedengaran kuno. Terasa bagian dari masa lalu. Jadi, setiap calon yang namanya o langsung saya coret."
Ini "teori" baru buat saya. "Wah, ini namanya diskriminasi, Dul. Orang-orang itu tak memilih namanya sendiri. Orang tuanya yang memilihkan. Pantas saja dalam daftarmu tak ada nama Djoko Suyanto atau Prabowo Subianto. Masak, mereka harus ganti nama dulu supaya bisa dicalonkan?"
Dul terus bicara. "Setelah nama o saya sisihkan, saya hapus calon yang berprofesi sama dengan presiden-presiden sebelum ini. Tak ada lagi politisi, militer, ilmuwan, dan tokoh agama."
Saya cepat menyela, "Jadi, kamu sisihkan profesinya favorit kamu, Gus Dur?"
"Oh, kalau Gus Dur itu pemikir, Mas. Saya tak sisihkan pemikir dari daftar, tapi bolehlah profesinya sebagai tokoh agama saya coret," jawab Dul. Dia masih terus berkata-kata. "Kemudian saya hapus juga nama-nama yang pernah dikait-kaitkan dengan korupsi. Punya potensi menggunakan kekuasaan untuk bisnis pribadi. Tidak taat bayar pajak. Punya riwayat merusak alam. Tak meletakkan kepentingan Republik di atas segalanya."
Mata saya terpejam, karena guntingan rambut berguguran dari kepala. Begitu melek, Dul Simo sudah menyodorkan satu daftar lagi berisi kurang dari sepuluh nama. "Ini daftar yang lolos seleksi kedua saya, Mas," ia menjelaskan. Dia memasukkan nama pengusaha, dosen, wartawan, eksekutif lembaga internasional, ekonom, kepala daerah.
Melihat saya tak bereaksi melihat daftar calon presidennya, Dul Simo bertanya dengan nada agak tinggi. "Jadi, sampean setuju atau bagaimana, nih? Kalau setuju, akan saya sosialisasikan ke segala penjuru," katanya sengit. Saya memberinya kode untuk diam. Soalnya, tukang pangkas sedang mengerik sisa-sisa rambut di belakang kepala dengan pisau cukur. Salah-salah kerik, tengkuk saya bisa tersayat.
"Begini, Dul. Calon presiden saya mesti memenuhi kriteria 6 S," ujar saya, mengakhiri penantian Dul. "Dia harus sevisioner Sukarno, setegas Soeharto, sepintar Habibie, sehumanis Gus Dur, sehati-hati Yudhoyono, dan bisa selembut Megawati. Nah, coba koreksi daftarmu dengan kriteria saya."
Dul kelihatan berpikir keras. Saya pun asyik menikmati pijatan tukang pangkas. Menjelang keluar dari barbershop itu, dia menyodorkan selembar kertas. "Ini daftar terbaru presiden kita, Mas." Saya bolak-balik kertas itu: isinya kosong.