Putu Setia
Kisah mengharukan Pak Raden alias Drs Suyadi dalam meniti hari tuanya adalah "cerita bersambung" tentang kehidupan seniman yang tak pernah tahu seluk-beluk hak cipta. Ada banyak seniman, baik tradisi maupun modern, yang walaupun menyandang julukan maestro, hidup dalam kemiskinan di hari tua. Dan ketika mereka meninggal dunia, di kemudian hari pemerintah paling-paling mengabadikan nama mereka sebagai gedung kesenian atau museum. Itu pun kalau ada desakan dari masyarakat.
Maka, di Bali ada Gedung Kesenian Gde Manik, Gedung Ketut Maria, dan berbagai museum yang mengabadikan nama para seniman. Tapi Gde Manik dan Ketut Maria--yang lain terlalu banyak jika disebut--tak mendapatkan apa-apa pada saat mereka hidup. Padahal ciptaannya berupa seni tari sampai sekarang dipentaskan di berbagai tempat, dan membuat kaya para makelar seni. Buku-buku tentang mereka, baik menyangkut proses kreatif mereka maupun kehidupannya yang penuh warna, dicetak ulang dan membuat penulisnya kehujanan royalti, sementara para seniman itu tetap kehujanan karena rumahnya bocor.
Undang-Undang tentang Hak Cipta sudah beberapa kali direvisi, terakhir menjadi UU No. 19 Tahun 2002 yang lebih terperinci dari sebelumnya. Namun para seniman, apalagi seniman tradisional, tetap saja enggan mengurus hak cipta itu, selain mengurusnya juga ruwet dan perlu biaya.
Dalam musik pop, untung ada Yayasan Hak Cipta, yang mau mengurusi royalti, meski untuk memungutnya tetap kewalahan. Tapi lumayan, dan inilah yang membuat pencipta lagu Begawan Solo, Gesang, "terselamatkan" di hari tuanya sampai beliau meninggal dunia, dua tahun lalu.
Tapi siapa yang mengurus hak cipta para seniman tari, karawitan, pematung, pelukis, dan sebagainya? Pemerintah hanya bisa melahirkan undang-undang tanpa merasa perlu melakukan sosialisasi yang cukup, seolah-olah semua rakyat tahu, begitu sebuah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara, urusan selesai. Apalagi mengurus pendaftarannya. Kalau Pak Raden saja kelimpungan dengan hak cipta ini, jangan tanya lagi seniman di daerah.
Pak Raden menciptakan tokoh boneka Si Unyil. Memang ide itu datang dari pimpinan Perusahaan Film Negara, dan biaya pun datang dari badan usaha milik negara ini. Sesuai dengan undang-undang, hak cipta itu seharusnya milik sah Pak Raden, bukan siapa yang punya ide dan siapa yang membiayai. Hak cipta melekat pada si pencipta, namun dengan catatan Pak Raden sendiri yang mendaftarkannya ke Ditjen Hak Cipta dan Paten.
Rupanya, Pak Raden tak melakukan hal itu dan ia menyerahkan pengurusan hak cipta kepada PFN, dan PFN mendaftarkan diri sebagai "pemilik hak cipta". Ini dimungkinkan asalkan ada perjanjian batas waktu antara lembaga yang "menampung hak cipta" dan perorangan "pemilik hak cipta". Masalahnya, perjanjian batas waktu itu tak ada, meskipun Pak Raden sebelumnya merasa meneken perjanjian dengan batas waktu lima tahun. Entah mana yang betul.
Si Unyil, yang 12 tahun (1981-1993) menghadirkan tontonan mendidik di TVRI, ini begitu populer dan menjadi "merek dagang" yang laku dijual. Ketika TV swasta muncul, Si Unyil ditayangkan di RCTI selama setahun (2002-2003), lalu pindah ke TPI selama setahun. Trans7 kemudian mencoba memboyong Si Unyil dari dunia pedesaan ke alam kota, dan judulnya menjadi Laptop Si Unyil. Semua tayangan itu dengan iklan komersial. Belum lagi pemakaian nama Unyil untuk berbagai produk, dari roti sampai toto gelap (togel).
Lalu, apa yang diperoleh Pak Raden? Ya, hanya nama besar sebagai pencipta Unyil, bukan uang, karena hak ciptanya bukan dia yang pegang. Mari bersimpati kepada Pak Raden.