Putu Setia
Salah satu tugas anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah dalam bidang pengawasan. Bidang ini membuat mereka sangat asyik bekerja, sama asyiknya dengan tugas di bidang anggaran--karena bisa mengolah anggaran untuk mendapatkan komisi proyek. Tidak seperti bidang legislasi, yang ditelantarkan.
Di sektor pengawasan, anggota Dewan bisa memposisikan diri sebagai orang kuat, berbuat apa saja atas nama lembaga pengawasan. Mau masuk ke bui sampai larut malam menemui tersangka korupsi, tak ada yang melarang. Dalihnya, mengawasi penjara. Mau mengobrak-abrik badan usaha milik negara, bisa pula. Kan direksi BUMN harus mendapat persetujuan DPR. Jangankan direksi BUMN, pengangkatan kepala kepolisian negara, duta besar, Deputi Senior Bank Indonesia, sampai memilih anggota berbagai komisi, pun DPR berperan besar. Jangan mimpi jadi anggota Komisi Penyiaran, misalnya, jika Anda tak disukai anggota DPR.
Parlemen sekarang luar biasa kuat. Tentu saja ini barang ideal karena demokrasi pada intinya adalah suara rakyat untuk kesejahteraan rakyat. Hanya parlemen yang bisa mengatasnamakan rakyat. Cuma, yang jadi masalah, antara ideal dan kenyataan jauh panggang dari api. Rakyat sedang menderita karena berbagai bencana, anggota DPR terus memperbaiki fasilitas ruang kerjanya. Rakyat ingin kemerosotan akhlak diperangi, anggota DPR menebar video porno. Rakyat sedang bergulat dengan kesulitan ekonomi, anggota DPR berfoya-foya ke luar negeri.
Penyakit ini sudah akut, tak mempan dikritik lewat media. Media menggonggong, parlemen berlalu. Adakah cara lebih manjur mengawasi lembaga pengawasan ini? Adik-adik kita yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman memberi satu contoh untuk mengawasi parlemen. Mereka mengorbankan waktu kuliahnya untuk membuntuti dengan sembunyi anggota parlemen yang sedang melakukan studi banding ke Jerman. Tim buser PPI Jerman lalu menemukan anggota DPR bersama keluarganya pelesir ke Kaufhaus des Westens (KaDeWe), pusat belanja termewah di Berlin Barat. Juga berbelanja ke Lafayette, salah satu galeri ternama di Berlin.
Sesungguhnya, apa yang hendak dibandingkan oleh anggota DPR itu ke Jerman? Acara yang disusunnya masuk akal. Agenda utamanya berkunjung ke pabrik tank Leopard, maklum mereka anggota Komisi Pertahanan. Padahal mereka belum tahu benar seluk-beluk pabrik Pindad di Bandung atau PAL di Surabaya, yang juga memproduksi senjata. Agenda kedua, menggelar acara ramah-tamah dengan staf KBRI. Ini harus dimaklumi juga karena mereka membidangi luar negeri. Bahwa kunjungan itu ada hasilnya, jangan terlalu percaya. Sama seperti kunjungan anggota DPR ke Yunani untuk belajar soal etika, hasilnya adalah etika anggota parlemen semakin amburadul.
Etika itu termasuk cara berpikir dan berperilaku. Ketika banyak orang menyoroti kenapa anggota DPR yang melakukan studi banding ke luar negeri mengajak keluarga, ada jawaban: Kenapa dipersoalkan? Pejabat pemerintah juga biasa begitu. Jadi, kalau ditanya, kenapa korupsi? Jawabannya: Lho, yang lain juga korupsi. Kenapa memperkosa penumpang? Sopir angkot menjawab: Meniru teman, kok.
Kalau anggota parlemen sudah berpikir dan berperilaku seperti ini, memang cara adik-adik kita di PPI Jerman patut dicontoh dan dikembangkan. Mari kita awasi terus lembaga yang seharusnya mengawasi pemerintah ini. Kita kuntit ke mana saja mereka pergi, apa saja yang diperbuatnya. Tentu kemudian kita catat nama-nama mereka untuk saatnya nanti kita pampang sebagai orang yang tak layak jadi orang terhormat.