Putu Setia
Dia datang, langsung memelukku. Kemudian duduk dan berkata: "Saya mau mengeluh. Saya masih bangga dengan bangsa ini, saya tak tega bangsa ini jadi jelek. Tapi apa yang masih bisa saya banggakan, wong kenyataannya memang jelek."
Aku terkesima. Puting-beliung dari mana yang menerbangkan keponakanku ini, kok tiba-tiba ada di depanku? Tahun lalu, ketika ayahnya meninggal dunia, selama tiga bulan ia bersedih-sedih di akun Facebook-nya.
"Bulu tangkis, yang pernah mengharumkan bangsa, kini hancur. Tim Piala Thomas dan Piala Uber kalah sebelum semifinal. Tak ada juara dunia lagi, padahal dulu selalu all-Indonesian final. Sepak bola, ya ampun, kalah melulu. Apa dong yang kita banggakan?"
Aku mengusap rambutnya, sambil mengkhayal sejenak, kalau ada kamera di depanku, jangan-jangan ada yang mengira ini shooting sinetron. Dia melanjutkan.
"Apa dong yang masih baik di negeri ini? Negara paling korup, tapi koruptornya dibela terus. Negeri yang jadi pasar narkoba, tapi terpidana narkoba dapat grasi. Bangsa yang suka diadu, menjelek-jelekkan sesama anak bangsa. Yang dipuja orang asing, Lady Gaga, Inter Milan. Memangnya Agnes Monica kalah aksi? Bangsa yang tidak bebas melaksanakan ritual. Masjid dirusak, gereja disegel, tapi yang diteriakkan Tuhan Maha Besar."
"Sudahlah, cukup. Cukup," aku sampai memegang mulutnya, ocehannya sudah sensitif. "Kamu jangan terlalu pesimistis, apalagi sampai mengolok-olok bangsa sendiri. Itu sama saja artinya kau telah mewujudkan tanah airmu untuk menjadi bangsa yang gagal. Tetaplah bangga."
Kata-kataku itu, kalau tak salah, sepertinya ditulis sahabatku Tulus Wijanarko di akun Facebooknya. Ah, biarlah aku pinjam agar dia bisa tenang. Benar, dia agak tenang dan berkata:"Bagaimana saya bisa berbangga kalau faktanya jelek, korupsi semakin menggila, polisi semakin takut pada ormas...."
"Ini masalah pilihan," kataku memotong. "Kau tetap mau mengolok-olok bangsamu sendiri, atau kau mau menebarkan semangat optimisme di tengah keterpurukan ini? Betul korupsi itu merajalela, sudah berapa gubernur yang dipidana. Malah mau bertambah lagi kalau saja tidak dibela oleh seorang mantan menteri. Tapi bukankah ada Dahlan Iskan, menteri yang tak mau terima gaji, dan makan siang dari bungkusan istrinya? Sepak bola kita hancur. Tapi tidakkah kau lihat lapangan di Denpasar, Probolinggo, Tuban dipenuhi anak-anak bermain bola? Tidakkah kau baca berita pemuda Kristen di Ambon sibuk menyukseskan MTQ? Tidak pernahkah kau lihat umat muslim di Bali ikut mengatur lalu lintas ketika ada pawai ogoh-ogoh menjelang Nyepi? Tim SAR kita luar biasa di Gunung Salak. Ini tetap membanggakan, ini membuat kita selalu optimistis tentang Indonesia ke depan."
Wah, ini betul-betul adegan sinetron, pikirku. "Tapi," dia melanjutkan, "Yang baik itu tenggelam, yang jelek diobral siang-malam."
"Nduk, kowe iki keakehan ndelok TV yang enggak benar," kataku dengan bahasa Jawa campuran, maklum ibunya dari Lumajang. "Stasiun televisi dimiliki konglomerat sekaligus politisi yang haus kekuasaan. Sebagai konglomerat, dia memuja rating tinggi agar iklan masuk. Sebagai politisi, dia menjelekkan lawannya sembari berkampanye di televisi itu. Tapi tetap ada pilihan, ada banyak media, ada TVRI."
"Jadi, kita harus memilih, toh...." Aku langsung menyambar: "Memilih, jadi orang pesimistis atau optimistis, jadi orang yang gemar mengolok-olok bangsa sendiri atau memperbaiki diri dengan berkarya. Percayalah, saatnya masyarakat akan bosan mendengar orang yang menjelek-jelekkan negerinya sendiri. Media seperti itu pun akan ditinggal."