Putu Setia
Orang tua di masa lalu suka menasihati anak-anaknya begini: "Jangan suka menuding orang. Kalau itu kau lakukan, hanya satu jari yang mengarah kepadanya, tiga jari lainnya mengarah kepada dirimu."
"Paham?" tanya saya. Cucu saja menjawab: "Tidak!" Waduh, terpaksa saya memberi penjelasan. "Cobalah menuding. Telunjuk mengarah kepada orang yang dituding. Jari tengah, jari manis, dan kelingking mengarah kepada dirimu, sementara ibu jari netral. Artinya, bisa jadi kesalahan dirimu lebih besar dibanding kesalahan orang yang kamu tuding. Paham?"
"Tidak," cucu saya menggeleng. Saya membatin: "Anak metropolitan, tak pernah baca Sutasoma, Kidung Pararaton, Arjuna Wiwaha." Terpaksa saya menjelaskan dengan contoh yang ia tahu.
Pengangkatan wakil menteri, yang harus diulang lewat surat keputusan presiden yang baru, bisa jadi contoh. Mahkamah Konstitusi menyebut keppres lama salah karena mengacu kepada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 dengan penjelasannya. Pasal 10 itu sendiri tidak melanggar konstitusi, tetapi penjelasannya yang bertentangan dengan pasal yang diterangkannya.
Ada anggota DPR menuding: "Presiden dipermalukan." Tapi tak disadari kesalahan utama ada pada DPR. Bagaimana bisa DPR ngawur membuat undang-undang, antara pasal dan penjelasannya tidak sinkron? Pasal 10 berbunyi: "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu." Dalam penjelasannya dikatakan, "Yang dimaksud dengan wakil menteri adalah pejabat karier, dan wakil menteri bukan anggota kabinet." Dari mana kalimat ini dicomot? Jangan-jangan tadinya pasal baru, karena tak akur, dicomot dan diselundupkan ke penjelasan.
Alur kelahiran undang-undang, diperdebatkan di komisi lebih dulu, lalu dibahas di pansus, hasilnya diserahkan ke paripurna untuk disahkan. Formalnya, 500 lebih anggota DPR harus membaca dengan teliti pasal per pasal, termasuk penjelasan, sebelum disahkan, meskipun dia bukan anggota pansus dan bukan di komisi terkait. Apakah tak malu berteriak "setujuuu" padahal apa yang disetujui tak pernah dibaca? Lebih malu lagi secara lembaga kalau persetujuan undang-undang disahkan oleh tanda tangan, orangnya entah di mana seperti tuyul. Jadi, bukan hanya presiden yang dipermalukan Mahkamah, tetapi DPR juga malu-maluin.
Saya ingin mengajarkan ke cucu, cobalah berhenti menyalahkan orang lain, karena diri kita juga banyak salahnya. Berhenti bertengkar, menyerang, memfitnah, ngeledek. Lebih baik sama-sama mencari kesalahan untuk diperbaiki bersama. Justru pada saat banyak pemimpin diliputi berbagai kekurangan, kita perlu guyub dan saling membantu.
Contoh lain, KPK bersama Dirjen Pajak berhasil menangkap Tommy Hendratno, yang sedang menerima suap Rp 280 juta dari pegawai PT Bhakti Investama, James Gunardjo. Sebagian orang mencibir: "Ah, cuma teri. Tangkap dong pengemplang pajak triliunan, berani enggak?" Badan Narkotika Nasional menangkap sersan mayor penyelundup ribuan pil ekstasi, orang mencibir: "Beraninya pada sersan mayor. Jenderalnya, dong."
Cibiran dan sinisme tak membuat Indonesia lebih bagus. Serahkan data jenderal penyelundup ekstasi, serahkan data pengemplang pajak, lalu bersama-sama menangkapnya. Saya setuju, pemerintah kita lemah saat ini. Justru kelemahan itu kita tambal, bukan dengan asal tuding. Jika tiap malam kita mencari-cari kesalahan pemerintah, kita begadang dengan gelisah. Berpikirlah positif dan tetap optimistis, kita akan melewati malam-malam yang indah. Apalagi ada Piala Eropa, goool, kita pun puas.