Putu Setia
Selamat menjalankan ibadah puasa sahabat-sahabat muslim. Di hari libur awal Ramadan ini, mari bersantai sejenak. Mengkhayal barangkali tidak salah, terserah tentang apa dan mau jadi apa.
Mengkhayal itu gampang, pikiran bisa dibawa ke mana saja dengan sangat cepatnya dan berpindah-pindah setiap saat. Para pujangga lama menyebut pikiran itu ibarat kuda liar. Semalam, misalnya, saya sempat mengkhayal menjadi menteri yang juga ketua partai. Enak sekali. Tetapi, ketika Bapak Presiden menegur bahwa menteri yang masih sibuk mengurusi partai lebih baik mundur, rasanya sedih. Mau membalas dengan kata-kata, "Lo, kan Bapak yang memberi contoh", tentu tidak etis. Apalagi begini, "Lo, saya kan pembantu Bapak, kalau pekerjaan saya Bapak anggap tidak fokus, berhentikan saja saya. Berani?"
Ah, mengkhayal jadi pejabat, tak enak. Lebih baik mengkhayal memiliki suatu benda, dan agar khayalan ini bermutu, benda itu harus canggih. Saya lantas mengkhayal memiliki mobil listrik yang dibeli dengan harga Rp 300 juta. Dari mana uangnya, jangan ditanya, namanya saja mengkhayal.
Saya mau pamerkan mobil canggih itu ke teman-teman di Jakarta, agar dia tahu, mobil listrik ini bisa diproduksi di Bali--meskipun di bawah lisensi PT Sarimas Ahmadi Pratama, milik Dasep Ahmadi yang sudah direstui Menteri Dahlan Iskan. Saya berangkat dari Denpasar pagi hari dengan baterai penuh yang bisa menempuh perjalanan 120 km. Sekadar diketahui, saya begadang semalaman, takut ada pencuri. Maklum, rumah gelap, semua peralatan yang memakai listrik dimatikan. Seluruh daya diarahkan untuk men-charge baterai mobil ini.
Denpasar-Gilimanuk aman. Masuk ke kapal pun aman. Tatkala antre keluar, awak kapal membentak saya, "Cepat hidupkan mobil." Saya pun membalas, "Sudah hidup, tahu! Ini mobil listrik, gak pakai bunyi." Keluar dari geladak, injak gas dalam-dalam, greeng (eh, maaf, salah tulis, enggak pakai bunyi) ssstt..., mobil melesat mulus.
Beberapa kilometer lewat Ketapang, mobil mogok. Ingat kata Menteri Dahlan, itu bukan mogok, baterainya habis. Saya pusing mencari toko atau rumah yang daya listriknya 2.200 kWh, kebanyakan hanya 1.300 kWh. Untung ada pabrik penyosohan beras yang memakai genset. Di sana saya menumpang "nyetrum" baterai mobil. Perlu waktu lima jam agar baterai penuh, sampai-sampai ada tengkulak yang mengira sayalah pemilik penyosohan beras itu.
Saya berhitung, dari sini dengan jarak 120 km baru sampai Pasir Putih, ya, kalau persis di obyek wisatanya. Kalau di hutan? Jika pun ada tempat menumpang nyetrum baterai, nunggu lagi lima jam. Berapa hari Denpasar-Surabaya ditempuh, dan kapan sampai Jakarta?
"Harusnya bawa baterai cadangan, paling tidak tiga," seperti ada bisikan. Masuk akal, sehingga ketika malam saat tidur, semua baterai di-charge. Tapi, adakah hotel yang menyediakan daya listrik besar untuk hal itu di kota kecil?
"Anda terlalu cepat punya mobil listrik, mestinya sepuluh tahun lagi baru beli," ini tulisan di Twitter. Saya balas, "Lo, menterinya saja tak sabaran, kok. Saya kan hanya ikut-ikutan." Lalu ada bisikan lagi yang menyalahkan saya, "Kok, Anda percaya dengan program instan seperti ini? Semua pekerjaan ada tahapannya, ada komponen pendukung, ada infrastruktur, yang instan itu hanya mi."
Saya merenung, "Kalau program ini berhasil dan sepuluh tahun lagi baru saya punya mobil listrik, di mana dikebut? Sekarang saja jalanan sudah macet, apalagi setelah ada mobil listrik." Tapi saya tak mau memikirkan itu lagi, khayalan saya sudahi. Mengkhayal, kok, yang ruwet.