Seorang penduduk kota besar adalah seorang tamu di beberapa ruang duduk.
Pagi-pagi ia akan duduk sarapan. Beberapa menit kemudian ia akan di atas sadel sepeda motor, atau dalam angkot, atau dalam mobilnya sendiri. Sejam dua jam lamanya ia akan hadir di jalan yang macet. Kemudian ruang berikutnya: pabrik, restoran, bank, atau kantor jawatan, di mana ia akan bekerja atau pura-pura bekerja. Lalu ia akan pulangmelalui rute yang membuat kendaraan, yang bergerak pelan di jalan yang padat, jadi ruang tunggu yang panjang.
Pengalamannya pengalaman seorang pesinggah. Bahkan, karena jam di luar begitu panjang, tempat tinggalnya kian mirip sebuah penginapan. Di sana ia mungkin beranak, beristri atau bersuami, dan ruang itu disebut "rumah". Tapi "rumah" itu bukan seperti dalam pengalaman kakek-neneknya dulu. "Sekarang, ketika kita jadi kaum urban rumah itu mengambang," tulis Nirwan Dewanto dalam pengantar pameran Domestic Stuff ("benda-benda rumahan") di Galeri Salihara sebulan yang lalu.
Kini rumah sebuah ruang yang diganggu waktu. Dulu waktu seakan-akan menyusup di daun pintu tua, mendekam di tiang 50 tahun, dan tak mengusik kehidupan sehari-hari. Ada yang jadi akrab karena sejarah. Kini sejarah hanya selintas membentuk hubungan seorang penghuni kota besar dengan dunia luar. Selebihnya dibentuk oleh kongesti.
Manusia dan benda berjejal-jejal. Paradoks dari kongesti ini adalah bahwa ketika hidup jadi begitu padat rapat, dan manusia jadi "orang ramai", hubungan pun tak lagi akrab. Rebutan ruang berlangsung, dengan heboh atau membisu. Kita menyaksikannya di jalan raya yang padat kendaraan, di petak hijau yang didesak apartemen tinggi. Dalam perebutan itu, "aku" melihat "mereka", tapi "melihat" sajasebuah persepsi dari sebuah jarak.
Tapi untunglah manusia tak pernah mudah selesai. Ia mencoba menemukan kembali apa yang hilang.
Mungkin itu sebabnya pameran seni rupa Domestic Stuff itu menyentuh hati: yang diungkapkan di galeri itu sebuah rekaman kerinduan. Barangkali sebuah ilusi. Atau setengah mimpi.
"Setiap benda yang tergeletak di sudut rumah menyimpan cerita," tulis dua perupa dalam pameran itu, Ariani Darmawan dan Ferdiansyah Thajib. Karya mereka Kabar Benda Diam: sebuah meja makan, tapi terbalik dan tergantung pada langit-langit, lengkap dengan piring, tudung saji, dan kaleng Khong Guan Biscuits. Benda yang lumrah itu mendadak jadi tak tersangka-sangka. Seraya diam, ia jadi sebuah "kabar". Kita dikejutkan dari distraksi dan disentuh kembali ke atensiagar kita sejenak menyimak, merenungkan.
Jangan-jangan benda itu sebuah "tanda".
Dan itulah yang dikatakan Melati Suryodarmo dan Afrizal Malna, yang di pameran ini menghadirkan sebuah setrika di sebelah tumpukan kain, dengan warna dan bentuk yang setengah abstrak. Perkakas itu berubah dari alat kerja sehari-hari jadi peristiwa yang tak sehari-hari. Ia petilasan dari sesuatu yang cuma punya makna instrumental. Kini ia mengajak kita menebusnya dari status hanya sebagai komoditas. Ia jadi sebuah imaji tentang rutinitasbolak-balikyang tak semata-mata pengulangan. "Mekanisme pengulangan," kata Melati, jadi "pola tingkah laku yang terus-menerus dan tumbuh." Kata kuncinya adalah "tumbuh". Di dalam karya itu, yang bolak-balik jadi sesuatu yang berubah. Ia sebuah pesona.
Di benda-benda itulah teknologi jadi bagian dari proses yang profan dan juga estetik: mereka bukan ciptaan Tuhan, tapi pesona atau aura itu melintas, karena sebuah karya adalah sebuah "kejadian". Ia "tumbuh" dalam kejutan baru.
Tapi tak cuma itu. Di tiap benda yang kita temukan di rumah, ada bayang-bayang kekuasaan. Sebuah benda jadi komoditas atau jadi sampah karena proses yang ditentukan modal dan perdagangan. Karya seni yang menafikan penentuan itu bisa tampil sebagai sederet momen perlawanan. Ratusan stik es krim yang terbuang menjelma jadi sebuah rumah miniatur yang apik dalam karya Lidyawati & Amrizal Salayan St. Parpatih, sehimpun alat remote control TV tiba-tiba tersusun jadi kursi fantasi buatan Samuel Indratma.
Itu juga yang kita rasakan pada deretan gambar, kartu pos, cendera mata, piring hias, dan barang-barang sepele lain yang seakan-akan tak sengaja terhampar pada instalasi Sekarputri dan Mufti "Amenk" Priyanka, Catatan dari Rumah. Di sini, khaos seakan-akan tak mau peduli kepada rumah sebagai "sistem" ketertiban.
Tapi khaos itu akhirnya sementara, karena ia juga sebuah komposisi yang tersirat dari ritme dan bentuk. Karya seni meluangkan diri buat serendipity, keberuntungan yang bisa menemukan sesuatu secara tak disangka-sangka. Tiba-tiba benda-benda yang muncul dalam ruang galeri itu, atau dalam kanvas itu, seakan-akan berbisik dalam percakapan. Seperti dalam sajak "Senja di Pelabuhan Kecil" Chairil Anwar: "Gudang, rumah tua, tiang serta temali" itu seakan-akan saling menyapajuga menyapa seseorang yang tak lagi mencari cinta dan menegur pantai yang kehilangan ombak.
Dengan kata lain, karya seni bisa mengembalikan tegur sapa yang hilang dalam kongesti benda dan manusia.
Tapi tanpa karya seni sekalipun, dalam kepadatan kota besar, manusia tak ingin hanya singgah dari kelimun ke kelimun, dari aula ke aula. Ia perlu "ruang dalam" di mana ilusi tentang kesendirian mungkin, di mana timbul semacam mabuk kepayang kepada yang interioratau, meminjam kata-kata keren Walter Benjamin, die Phantasmagorien des Interieurs. Di sana, di antara dunia privat dan publik, ia undang kisah-kisah yang jauh dan yang telah berlalu.
Manusia tak mudah selesai. Tamu dari ruang ke ruang itu rindu. Di kota yang berjejal, ia bisa lari ke dalam sebuah boks (Loge) yang terselip di dinding teater imajiner, teater dunia, di kamarnya.
Goenawan Mohamad