Gaza hamil tua dengan manusia
dan tak ada yang membantu kelahirannya.
Saya pernah membaca sajak tentang Palestina itu (saya tak ingat lagi siapa penyairnya), dan sampai hari ini saya belum mengerti bagaimana cara membantu kelahiran manusia di Gaza.
Dalam tafsir saya, "manusia" adalah makhluk yang membuat sejarah melalui konflik, tapi tak akan bisa selama-lamanya bersengketa. "Ada waktu untuk perang," demikian tertera dalam Pengkhotbah, "dan ada waktu untuk damai."
Tapi di Gaza yang sekarang ada hanya "waktu untuk berperang", dan manusia belum sepenuhnya lahir.
Di sini dunia adalah sebuah penantian besar: penantian antara perang dan damai. Sekitar sejuta dari 1.700.000 penduduk di wilayah sepanjang 41 kilometer ini pengungsidan pengungsi adalah penanti sejati. Mereka telah menunggu lebih dari setengah abad. Persisnya sejak 1948, sejak mereka meninggalkan wilayah Palestina mereka yang dikuasai Israel setelah dunia Arab kalah perang.
Begitu lama mereka terdampar di sana, mungkinkah mereka kembali tanpa peperangan baru? Atau kalaupun mereka ingin tinggal selamanya di sana, bisakah itu berarti damai?
Damai yang hanya berarti tak ada tembak-menembak tak akan sulit dicapai. Tapi jika damai berarti rasa tenteram, orang-orang Palestina itu tak pernah menemukannya.
Mula-mula orang Israel mencoba mengambil alih tanah mereka dengan mendirikan permukiman di Kfar Darom dan Netzarim 40 tahun yang lalu. Tak berhenti di sana, pemerintah Israel mendukung ikhtiar perebutan seperti itu sampai dasawarsa berikutnya. Bentrokan pun tak dapat dielakkan. Orang-orang Palestina makin tak sabar, dan Hamas dibentuk dan Hamas didukung, dan intifadah meletus. Sejak itu, Gaza adalah awal dan ajang pertempuran, campuran antara heroisme dan terorisme, antara kecanggihan peralatan perang dan kebrutalan.
Israel memang menguasai udara, pantai, dan sisi timur Laut Tengah, dengan kekuatan militer dan propaganda yang tak tertandingi. Dalam Perang Gaza 2008 Israel praktis menang: di samping ratusan korban orang Palestina tewas, termasuk anak-anak, pelbagai prasarana yang dikendalikan Hamas dapat dihancurkan. Tapi pada akhirnya, Israel juga sebuah penantian besardengan semua kontradiksi yang terjadi karena itu.
Negara ini, seperti halnya negara lain, lahir dari kekerasan. Tapi sementara sebagian besar negara di dunia menjinakkan diri ke dalam institusi-institusi yang memendam kekerasan di bawah fondasinya, Israel tidak. Ia tak sepenuhnya sampai ke titik "waktu untuk damai". Lembaga-lembaga sosial dan politiknya memang berlangsung seperti di negara demokrasi yang normal: pers bebas, pemilihan umum yang terbuka, peradilan yang mandiri. Tapi Israel juga sebuah republik yang diperkuat oleh ketakutan.
Dulu ia ketakutan karena merasa dikepung negeri-negeri Arab yang ingin menghapuskannya dari peta. Kini, dengan kecanggihan dan kesiagaan militernya yang tak tertandingi di wilayah itu (termasuk dengan kesiapan senjata nuklir), ia hidup dengan ketakutan lain.
Tangan dan kakinya mencengkeram sebuah wilayah, bukan hanya Gaza, yang menurut hukum internasional bukan miliknyadi zaman ketika kolonisasi dianggap kejahatan. Para pemukim (settlers) Yahudi tak putus-putusnya mengambil alih tanah milik orang Palestina yang hidupnya lebih dulu dipojokkan pemerintah Israeldi zaman ketika ketidakadilan macam itu dikutuk secara universal. Maka ketakutan Israel kini adalah ketakutan tak punya dalih. Ia makin sulit menjelaskanjuga kepada dirinya sendiribagaimana sebuah negeri yang lahir untuk membebaskan diri dari kesewenang-wenangan kini memperpanjang diri dengan kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, Israel takut kehilangan raison d'tre. Ia takut dasar hidupnya akan terungkap sebagai sesuatu yang palsu: bukan karena hak, melainkan karena ia menembak & menggertak.
Ketakutan punya racun yang tak selamanya terasa. Nelson Mandela pernah mengatakan, bila "kita membebaskan diri dari ketakutan kita sendiri, kehadiran kita otomatis membebaskan orang lain". Bila tidak.
Dari itu tampak dengan jelas kontradiksi yang merundung Israel sekarang: di satu pihak, ia sebuah negeri yang merawat kebebasan; di pihak lain, ia kekuasaan yang takut akan kebebasan.
Secara lebih tajam, itulah yang diungkapkan oleh Peter Beinart dalam bukunya yang baru terbit, The Crisis of Zionism. Baginya, Israel terbelah dua; yang sebelah barat, "Israel adalah sebuah demokrasi tulen, meskipun ada cacatnya"; ke sebelah timur, Israel adalah "sebuah etnokrasi".
Kata "etnokrasi", terutama karena disebutkan oleh seorang penulis keturunan Yahudi, adalah kata yang keras sekali. Israel bermula dari para korban rencana etnokrasi Hitler: sebuah kekuasaan politik oleh, untuk, dan dengan etnis tertentu. Tapi kini Zionisme, yang berawal sebagai nasionalisme, telah bertaut dengan politik identitas yang kian sempitnyaris hanya mewadahi mereka yang mengunggulkan warga beretnis Yahudi dengan mengibarkan kata-kata Kitab Suci.
Dan tembok pun dibanguntanda pemisah yang mirip politik apartheid rezim kulit putih Afrika Selatan. Bukan kebetulan bila pembangun sistem ini, Ariel Sharonseperti ditulis David Schulman dalam The New York Review of Books 7 Juni yang lalumenyebut wilayah Palestina di balik tembok sebagai "Bantustans".
Tapi sebagaimana Afrika Selatan, kata Schulman, sistem Israel itu akan runtuh. Israel tak akan sanggup membinasakan seluruh orang Palestina. Penduduk Yahudi akan jadi minoritas.
Dan suatu hari nanti, jam berdetak ke arah pembebasandan manusia pun lahir bersama waktu "untuk damai".
Goenawan Mohamad