Toriq Hadad
Seandainya kita dulu bangga menerima gelar bangsa tempe dari Bung Karno, keadaan kita tak akan sekonyol sekarang. Dulu, Bung Karno berkata: kami menggoyangkan langit dan menggelorakan samudra agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari dua setengah sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Seharusnya kita menangkap yang tersirat. Kita bukan bangsa tempe, tapi mestinya sanggup memproduksi sendiri. Tapi sekarang mengurus kedelai pun kita tak becus. Saudara-saudara, tempe sudah ada sejak zaman Majapahit, tapi ratusan tahun kemudian, ya hari ini, kita justru bodoh mengurusnya. Presiden kita seorang doktor ekonomi pertanian, ayo kita dorong untuk lansir gerakan memasyarakatkan kedelai, bukan meng-keledai-kan masyarakat.
Tepuk tangan hadirin membahana. Saya tertegun mendengar pidato Abdul Simo, kawan saya itu, sambil menebak mulai kapan dia berganti profesi dari aktivis LSM menjadi pakar tempe. Dia bicara dalam seminar Mencari Solusi Kelangkaan Kedelai. Tiba giliran sesi tanya-jawab.
Seorang berkacamata tebal, kelihatannya dosen, langsung bertanya, Apakah pembicara tahu kebutuhan kedelai kita setahun dua juta ton lebih, sedangkan produksi tak sampai separuhnya. Artinya, untuk menambal kebutuhan nasional, kita perlu lahan yang luasnya tiga kali luas Jakarta. Anda punya solusi?
Dul Simo sontak menjawab, Jangankan tiga kali Jakarta, sepuluh kali pun bisa disediakan kalau pemerintah mau mencari. Manfaatkan pulau-pulau yang kosong di perbatasan, ketimbang dicaplok tetangga. Di Indonesia timur itu lahan kosong luar biasa luas. Kalau air hujan kurang, siram dengan air sumur. Jepang saja yang negerinya sempit punya kedelai edamame, yang kita kunyah dengan bangga di resto-resto Jepang walaupun harganya selangit. Kedelai tumbuh di mana-mana. Di Madura namanya kedhele. Di bumi Priangan orang menyebutnya kacang jepun, kacang bulu. Di Bima lawui, di Jawa dele, dangsul, dekeman. Di tanah Minang, kacang rimang, di Makassar kadale. Jadi kedelai tumbuh di mana saja, jangan pakai alasan tak ada lahan.
Salah seorang hadirin mendapat giliran bertanya, Saudara pembicara, kedelai kita kurang bagus dibanding Amerika. Butirannya lebih kecil, harganya lebih mahal. Itu sebabnya kita impor dari Amerika, yang kebetulan sedang dilanda kekeringan sekarang. Wajar bukan kalau kita ambil dari Amerika?
Dul Simo sedikit sewot. Sampai kapan kita tergantung Amerika? Dulu Bung Karno bilang Amerika kita setrika. Saya tak setuju itu, tapi kita tak pernah mandiri kalau semua Amerika. Apa rela tempe digantikan burger, tahu ditukar dengan tofu dari Cina. Kita harus menemukan varietas unggul. Dulu staf khusus Presiden Yudhoyono pernah melansir padi unggul Supertoy HL2, walaupun sayang ternyata cuma pepesan kosong. Tapi, dengan kesungguhan dan tekad mandiri pimpinan negara, bukan tak mungkin lahir varietas hebat. Ingat, orang kita pernah melahirkan singkong mukibat, ikan mujair. Nah, kalau ada edamame, mengapa tidak kelak ada kedelai esbeye?
Saya tergoda untuk bertanya, Pembicara, semua kementerian sibuk. Bulog juga repot mengurus beras. Instansi mana yang akan Anda bebani untuk memikirkan kedelai ini?
Dul Simo berapi-api. Untuk bahan pangan semua rakyat, tak boleh ada kata sibuk. Kementerian Pertanian harus bergerak. Tugasi Menteri Dahlan Iskan untuk membuat BUMN khusus kedelai. Tak perlu mengundang rektor perguruan tinggi pertanian ke Istana untuk menciptakan varietas baru, pasti jarang berhasil. Serahkan pada petani seperti mukibat atau mujair saja. Kalau mengurus kedelai saja tak mampu, jangan coba-coba bicara jembatan Selat Sunda, Trans Sumatera Highway. Jangan bicara proyek-proyek mega sebelum urusan kedelai beres. ***