Putu Setia
Masyarakat yang awam hukum heran kenapa Komisi Pemberantasan Korupsi berebut dengan Kepolisian Negara, dalam hal ini Bareskrim, untuk menyelidiki kasus korupsi pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi? Kalau kedua instansi penegak hukum itu bersama-sama mengusut, bukankah lebih bagus? Jika perlu, diajak pula kejaksaan. Menangkap maling dengan melibatkan banyak orang tentu lebih mudah dibanding menangkap sendirian. Di pedesaan, kalau menangkap maling, kentongan dibunyikan, supaya masyarakat berbondong-bondong mengejarnya.
Mungkin istilah maling untuk koruptor tak cocok lagi. Koruptor itu orang cerdas, lulusan perguruan tinggi ternama seperti yang dilansir Ketua DPR Marzuki Alie. Begitu pula maling dalam kasus pengadaan simulator ini, bukan polisi lalu lintas yang berjemur di jalan-jalan. Mereka adalah jenderal dan calon jenderal, lulusan perguruan tinggi polisi.
Karena mereka orang cerdas dan akademis, menjadi maling tentu berbekal ilmu yang tidak dimiliki oleh maling-maling ayam. Lagi pula, mereka punya almamater, punya kawan seangkatan--istilah di dunia sipil, kawan alumni. Di sinilah orang ragu, apa betul Bareskrim ingin mengusut karena tekad untuk menangkap maling. Jangan-jangan melindungi sebagian "oknum maling", yang adalah koleganya.
Orang awam berpikir begitu: bagaimana mungkin polisi ikhlas menangkap polisi, seperti halnya jeruk makan jeruk? Tak usah berdebat soal undang-undang, apalagi kesepakatan yang bisa menabrak undang-undang, sudah terang-benderang KPK yang lebih dipercaya untuk menangkap maling di "rumah" Pak Polisi ini.
Jika mewakili cara berpikir orang awam, keberadaan simulator itu pun layak dipertanyakan dan pasti tak punya dampak pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas. Barang yang nilainya miliaran rupiah itu dipastikan menjadi obyek para maling kelas "akademis" di tengah-tengah begitu banyaknya ragam "teknik memaling" untuk mendapatkan surat izin mengemudi alias SIM.
Dari tahun ke tahun, teknik itu berbeda, mengikuti situasi. Pengalaman saya pertama kali mencari SIM A (untuk roda empat), di Yogyakarta tahun 1980-an, penuh perjuangan. Harus mengikuti kursus mengemudi sampai mahir. Lalu mengikuti tes tertulis dan praktek di polisi lalu lintas. Perlu belajar menghafal tanda-tanda lalu lintas dan berbagai teori membawa mobil. Lulus ujian tertulis, dibawa ke jalanan oleh polisi, berbagai manuver harus dilakukan. Polisi pun capek dan bilang haus. Saya ajak ke warung, dia menolak dan bilang, "Mentahnya wae."
Di Jakarta, tak pernah pakai tes apa pun. Sudah ada calo, tinggal bayar yang tentu ongkosnya lebih banyak daripada semestinya. Bahkan, tak perlu ke kantor polisi, cukup tanda tangan di kertas putih dan menyerahkan foto. Rasanya saya melakukan ini berulang-kali.
Pengalaman di Bali beberapa tahun lalu, lebih canggih lagi. Ada tulisan mencolok di berbagai pintu: "Mencari SIM Dilarang Menggunakan Calo". Memang tertib, calo tak ada. Tapi ada polisi yang membantu mencarikan segepok formulir. Tinggal diisi, lalu membayar sesuai dengan harga formulir. Setelah itu, difoto dan tanda tangan. Selesai, tanpa tes apa pun, tanpa ada pungutan apa pun.
Ternyata di sela-sela formulir itu ada sertifikat yang dikeluarkan oleh sebuah "kursus mengemudi" dengan harga Rp 50 ribu. Secara hukum, pencari SIM sudah lulus kursus mengemudi sehingga bisa diberikan SIM. Inilah teknik para "maling kecil". Lalu, untuk apa simulator berharga miliaran rupiah itu? Ya, untuk mata pencarian "maling besar"--ini menurut orang awam, lo. Lihat saja di jalanan, seberapa banyak pengemudi yang paham aturan?