Putu Setia
Merah Putih sudah berkibar di jalan-jalan. Di pedesaan, berkibar di depan rumah penduduk. Sangat mengagumkan nasionalisme penduduk desa menyambut hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan pekan ini. Padahal, sebelumnya, yang berkibar bendera "penjajah": Belanda, Inggris, dan Portugal, menyambut Euro 2012.
Di perkotaan pun Merah Putih berkibar di sudut-sudut jalan dan trotoar, bukan di rumah dan depan toko, melainkan dibawa oleh pedagang musiman. Orang kaya dan juragan toko umumnya mengibarkan bendera setelah ada pengumuman resmi. Kadar nasionalisme mereka barangkali sudah di bawah orang desa. Atau ada ketidakpedulian. Atau merasa tak berguna memikirkan apa pentingnya ada Hari Proklamasi, Hari Pahlawan, Hari Pers, dan sejenisnya. Apa pentingnya pula mengibarkan Merah Putih.
Pengibaran Merah Putih di Istana Merdeka pada detik-detik peringatan Hari Proklamasi umumnya masih menyedot perhatian penonton televisi. Wakil-wakil pelajar dari seluruh Tanah Air mengibarkan bendera itu dengan gagah perkasa. Naskah proklamasi dibacakan dengan kalimat terakhir: "atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta." Hati saya masih tergetar.
Adakah di antara hadirin yang menyaksikan secara langsung detik-detik peringatan itu, tidak tahu siapa Sukarno dan Hatta? Kalau ada, mereka memang tak layak lagi diundang ke Istana. Pertanyaan lanjutan: adakah di antara hadirin itu yang tidak tahu jasa-jasa Sukarno dan Hatta, atau mengecilkan jasa kedua beliau? Kalau ada, mereka itu tak memahami sejarah negeri ini. Pertanyaan terakhir: adakah yang peduli dan merasa perlu memberikan gelar pahlawan nasional kepada Sukarno dan Hatta? Saya tak tahu jawabnya, yang jelas sampai saat ini Sukarno dan Hatta belum menjadi pahlawan nasional. Yang mengusulkan saja tidak ada, apalagi yang memprosesnya.
Setiap Agustus datang, pedagang bendera mendorong gerobak yang penuh dengan Merah Putih, hati saya terenyuh, kapan proklamator kemerdekaan ini menyandang gelar pahlawan nasional. Setiap menjelang bulan November, pada Hari Pahlawan-dan Presiden memberikan gelar kepahlawanan plus bintang jasa-saya semakin prihatin, begitu berlombanya masing-masing daerah mengusulkan "putra terbaiknya" untuk mendapatkan gelar pahlawan. Soeharto pun berkali-kali diusulkan. Tapi kenapa tak ada yang mengusulkan nama Sukarno dan Hatta? Apakah Sukarno dan Hatta bukan putra terbaik?
Konon ada ganjalan. Ketetapan MPRS Nomor 13 Tahun 1967 mencabut kekuasaan Sukarno. Bab II Pasal 6 menyebutkan, penyelesaian proses hukum menyangkut Sukarno dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Pelaksanaannya diserahkan ke pejabat presiden. Dan Soeharto tak melakukan apa-apa.
Ya, Soeharto pastilah "punya masalah" dengan pendahulunya. Tetapi empat presiden setelah Soeharto (Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono) juga tak melakukan apa-apa. Soeharto pernah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1986, yang memberikan gelar pahlawan proklamator kemerdekaan bagi dwitunggal itu. Tapi sebutan pahlawan proklamator itu tak dikenal dalam gelar kepahlawanan yang kita miliki.
Kepada Presiden SBY, saya "nasihatkan" (sesekali rakyat memberi nasihat), angkat Sukarno dan Hatta menjadi pahlawan nasional. Apalagi MPR telah mengeluarkan Ketetapan Nomor 1 Tahun 2003, yang menyebutkan tak perlu ada tindakan hukum untuk Sukarno karena beliau telah meninggal. Tolong, Pak SBY, saya memerlukan gelar pahlawan nasional untuk kedua proklamator itu agar saya lebih khidmat mengibarkan Merah Putih. Dirgahayu Indonesia kita.