Putu Setia
Tiba-tiba saya ingat peristiwa kecil yang sudah lama, sampai saya lupa kapan persisnya. Yang jelas, Presiden Indonesia masih Soeharto. Ketika itu, saya berbicara di perkemahan remaja lintas agama yang diselenggarakan sebuah organisasi pemuda. Saya sedang menjelaskan salah satu keyakinan dalam Hindu, yakni percaya akan adanya reinkarnasi. Lalu saya memancing pertanyaan, "Jika Anda percaya reinkarnasi, dan dibolehkan memilih pada kehidupan nanti, apa pilihan Anda?"
Seorang remaja lelaki berkacamata mengacungkan tangan, lalu saya persilakan menjawab, "Pilihan saya sederhana: saya tak ingin lahir sebagai warga Tionghoa." Saya kaget, meski beberapa peserta ada yang tertawa dan mendorong lelaki itu. Suasana memang santai.
Kenapa? Dia menjawab, "Saya lahir di negeri ini. Ayah dan ibu saya juga lahir di sini. Tapi, kok, saya harus mencari surat keterangan warga negara untuk mencari paspor, sementara orang lain yang juga lahir di sini, tidak. Saya juga tak bisa masuk Akabri."
Remaja itu menjawab dengan serius. Saya beralih kepada seorang remaja putri, dengan pertanyaan yang sama. Dia menjawab, "Saya ingin lahir di keluarga kaya, terhormat, berpendidikan." Sampai di situ, suasana riuh. "Saya belum selesai," kata sang putri. Saya minta yang lain tenang. "Ya, kaya, terhormat, berpendidikan, dan bukan Hindu. Saya ingin jadi presiden." Ucapan terakhir ini sudah diduga membuat suasana gaduh. Namanya anak remaja, ejekan pun keluar, "Kok, perempuan bercita-cita jadi presiden?" Atau ejekan ini, "Jadi presiden? Ngaca dulu! Sejak lahir, presiden kita, ya, cuma Pak Harto."
Ya, peristiwa kecil, di sebuah kegiatan berskala kecil. Tapi peristiwa ini sering saya kenang karena ada muatan SARA--akronim dari suku, agama, ras, dan antargolongan. Pada masa Orde Baru itu, kita tahu, kata SARA menjadi ampuh untuk berbagai hal, dari tujuan yang baik maupun maksud tidak baik. Seorang tentara yang menembak polisi tak bisa diberitakan karena SARA, entah di mana unsur SARA-nya. Ada isu yang beredar: seorang wakil kepala staf yang sudah dipersiapkan menjadi kepala staf, tiba-tiba batal karena dia beragama Hindu. Isu ini selamanya menjadi isu karena, kalau mau dilacak, terhadang dengan kata-kata: "Jangan tanya itu, sensitif, itu SARA." Padahal, kalau SARA ditanggalkan, bisa jadi isu itu bohong belaka, tak mungkin pemimpin dipilih berdasarkan iman atau agama di negeri majemuk ini. Presiden saja tak disyaratkan beragama Islam.
Yang tak bohong, perlakuan terhadap warga keturunan Tionghoa itu. Namun, kita bersyukur pernah punya presiden bernama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pada masa pemerintahannya yang singkat itu, warga Tionghoa bisa bernapas longgar. Imlek boleh dirayakan, baik secara keagamaan oleh penganut Konghucu maupun secara budaya oleh warga keturunan Tionghoa tanpa memandang apakah dia Buddha, Kristen, Katolik, Hindu, atau Islam. Barongsai dipentaskan di mana-mana. Aktivis Tionghoa menjadi menteri, anggota DPR, bupati, dan sebagainya. Saya pun berangsur melupakan peristiwa kecil yang dulu itu, dan saya selalu berkata, "Indonesia telah berubah ke arah yang lebih baik."
Bagai petir di siang benderang, saya terkejut ketika isu SARA merebak kembali dalam kasus Pilkada DKI Jakarta putaran kedua ini. Jokowi orang tuanya Kristen, dan batin saya bertanya, "Kalaupun benar (padahal tidak), apa yang salah?" Ahok keturunan Tionghoa, batin saya pun bertanya, "Memang ada masalah?" Pilih pemimpin yang seiman, batin saya pun menjerit, "Oh, betul juga, negara kesatuan ini sejak dulu belum final. Saya keliru, negeri ini ternyata makin runyam." Astaga!