Putu Setia
Jika ada orang yang bisa mendengarkan pidato atau mendengarkan orang ngobrol padahal dia tidur, itu orang yang luar biasa. Apalagi sudah mendengkur, tetap mendengar pula. Adakah orang yang diberi kemampuan seperti itu?
Ada, tapi saya tak menemukan lebih dari satu. Dia adalah Presiden Indonesia yang keempat di republik yang berbudaya ini: Abdurrahman Wahid. Dengan beribu-ribu maaf--nuwun sewu--saya harus menyebutkan junjungan saya yang sudah lama berada di sisi Tuhan ini. Saya akrab dengan beliau, tentu saja ketika beliau belum menjadi Presiden. Maklum, pada 1980-an, saat beliau menulis kolom untuk Majalah Tempo, saya yang menyediakan mesin ketik dan kertas.
Suatu ketika--ini sudah tahun 1990-an--beliau ikut di mobil saya bersama Wahyu Muryadi dalam perjalanan ke Ciganjur. Mulanya kami asyik ngobrol bertiga. Tiba-tiba Gus Dur tidur dan mendengkur, saya dan Wahyu menghentikan obrolan. Junjungan kita capek, biar istirahat, kita tutup diskusi, kata Wahyu. Eh, tiba-tiba Gus Dur berhenti mendengkur, Sampean ngomong saja terus, nanti saya jawab. Kami terbahak, dan Gus Dur mengaku mendengar apa yang kami obrolkan.
Di Bali, jika ada pesantian (menembangkan dan mengupas sastra kuno seperti Kakawin Arjuna Wiwaha), banyak orang tampak tidur, tapi tak sampai mendengkur. Ini pertanda mereka menghayati seni tembang atau petuah dalam sastra itu, bukan mengantuk. Konsentrasi dan penghayatan mereka yang mantap membuat kepala mereka merunduk dan mata setengah pejam.
Dalam tradisi spiritual, hubungan antara guru dan murid tak bisa bertatap frontal. Jika guru memberi petuah yang bisa saja sejenis pidato, sisya (murid) mendengarkan dengan tekun dan kepala merunduk. Ya, seperti orang mengantuk atau setengah tidur. Pantang bagi murid untuk menatap guru pada saat seperti itu, dikira memelototi guru. Bahkan, dalam dialog keseharian pun, murid hanya menatap wajah guru saat murid berbicara.
Seorang guru spiritual--mungkin patut dicontoh oleh pemimpin non-spiritual--jika dalam memberi wejangan, baik yang terbatas maupun berpidato di depan umum (istilahnya memberi dharma wacana), melihat ada peserta yang mengantuk apalagi tidur, dia tak akan menegur. Ia melakukan manuver intonasi, misalnya, suaranya tiba-tiba menggelegar bak memprovokasi atau sedih seperti menangis, tentu tergantung konteks wejangan. Atau materi wejangan dibelokkan ke hal-hal yang humor, sehingga orang tertawa, yang tidur pun bangun ikut terbahak. Jika semua manuver itu tak mempan membunuh kantuk hadirin, ya, pidatonya tak bermutu. Mungkin pidato itu umum saja, misalnya, Saya prihatin dengan kasus ini, saya sudah perintahkan. disertai gerak tangan ke samping, ke depan, dan sebagainya. Guru tahu diri dan wejangan segera diakhiri.
Berpidato di depan anak-anak jauh lebih sulit. Anak mengantuk dan tidur justru lebih memudahkan berpidato. Yang sering terjadi, anak itu bercanda, mengobrol dengan temannya, saling melempar barang kecil, seperti permen dan bola kertas. Tegurlah anak-anak itu dengan teknik penyampaian pidato, entah menyelipkan cerita, lagu, atau celetukan khas anak-anak. Menegur anak yang tidur bukan saja tak dianjurkan, tapi justru harus dicari tahu kenapa dia capek sampai tertidur. Mungkin belum sarapan atau menunggu acara yang molor.
Jadi, jika lain kali Anda sedang berpidato dan ada hadirin yang mengantuk, koreksi dulu cara berpidato Anda. Atau orang yang (kita kira) mengantuk itu ternyata menyimak penuh khidmat pidato Anda, dengan budaya dan tradisi lokalnya. Kenapa harus ditegur?