Putu Setia
Setujukah koruptor dihukum mati? Tidak, jawab saya tegas. Ini yang membuat teman-teman saya heran. Mereka sampai menuduh saya membela koruptor. Mereka menyebut koruptor itu secara tak langsung membuat rakyat melarat. Contoh besar sampai kecil disebutkan. Jalanan ke desa-desa cepat rusak karena volume aspal dikurangi, lantaran pemborong menyisihkan anggaran untuk menyuap pejabat. Kalau perbaikan jalan yang anggarannya cuma Rp 2 miliar saja dikorup, bagaimana dengan proyek triliunan rupiah? "Koruptor harus dihukum berat," ujar teman saya.
Itu saya setuju. Bahkan setuju ada undang-undang yang mengatur hukuman minimal bagi koruptor. Misalnya, koruptor yang terbukti merugikan negara di atas Rp 100 juta dihukum minimum 10 tahun. Maksimum adalah hukuman terberat yang bukan mati, seumur hidup atau 20 tahun penjara.
Kalau seseorang melarikan uang arisan, bolehlah hukumannya di bawah koruptor, karena ini bukan uang dari rakyat. Ini uang dari sebuah kelompok yang bisa diartikan sebagai kesalahan bersama kelompok itu, salah memilih pemimpin arisan. Korupsi itu kejahatan yang menyengsarakan orang banyak.
Gayus, yang merampok uang dari hasil pajak, semestinya dihukum seumur hidup. Uang yang dijarah itu bukan saja besar dari sisi nilai, tapi juga membuat kepercayaan orang membayar pajak berkurang. Bayar pajak itu berat, dari membuat laporan bulanan, antre di Kantor Pajak, utak-atik dokumen saat diperiksa, belum lagi jalanan yang macet. Berat, tapi wajib dilakukan warga yang sadar bahwa negara ini perlu uang untuk membangun, membayar pegawai, dan sejenisnya. Eh, tiba-tiba itu dirampok oleh Gayus dan teman-temannya, betapa mirisnya pembayar pajak. Dalam sisi ini, "ancaman" Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang hendak boikot pajak jadi masuk akal.
Selama ini koruptor dihukum ringan. Hanya 2 atau 3 tahun, padahal korupsinya miliaran rupiah. Dipotong remisi hari raya agama, remisi 17 Agustus, masa sosialisasi, bebas bersyarat, berapa bulankah mereka mendekam di penjara? Tak banyak. Setelah itu, masih bisa mendongak ke atas seperti tak merasa bersalah, masih bisa memimpin PSSI, misalnya. Bagaimana hukuman ini bisa dijadikan efek jera?
Selain dihukum berat, koruptor itu harus dipermalukan. Vonis 10 tahun penjara plus kerja sosial menyapu jalanan, misalnya. Tentu pula sebelumnya harus "dimiskinkan", semua hartanya disita. Bahwa keluarganya ikut menderita, itu sebenarnya bukan penderitaan, itu cobaan dan dijadikan pelajaran hidup. Masih banyak rakyat yang menderita.
Cara mempermalukan koruptor sekarang ini masih sangat manusiawi--tak menimbulkan efek malu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuatkan jaket yang berisi tulisan "Tahanan KPK". Karena tulisan itu di belakang, tersangka koruptor tak baca, lagi pula baju yang bersih itu malah jadi modis di tubuh Angelina Sondakh, Miranda Gultom, Wa Ode, dan lainnya.
"Kenapa tak sekalian hukum mati saja?" teman saya ngotot. Saya jawab, mati itu bukan hukuman. Bahkan orang mati dibebaskan dari tuntutan apa pun. Mati itu hak prerogatif Tuhan. Ada ajaran agama menyebutkan bahwa mati itu menyenangkan karena bebas dari hukuman duniawi. Karena itu, mati sering disebut "dipanggil Tuhan". Betapa enaknya dipanggil Tuhan, jauh lebih enak daripada dipanggil KPK. Jadi jelas, saya tak setuju hukuman mati bukan soal koruptor, melainkan soal mengambil alih wewenang Tuhan itu.
"Tapi negara kita mencantumkan hukuman mati," kata teman saya. Saya mengangguk, "Ini kan pendapat pribadi, aturan negara, ya saya juga tunduk, yang jelas saya bukan pembela koruptor."