Putu Setia
Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kepolisian sedikit demi sedikit membuka rahasia dapur, apa sebenarnya yang ada di balik gemuruh itu. Salah satunya adalah pernyataan Wakil Kepala Kepolisian Nanan Sukarna. Jenderal polisi bintang tiga ini secara terang-terangan menyebutkan gaji polisi itu tidak cukup untuk menghidupi keluarga sehari-hari.
"Siapa yang bisa hidup hanya dari gaji? Tidak perlu munafik, termasuk saya," kata sang jenderal saat Seminar Nasional Komisi Kejaksaan di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis pekan lalu. Karena gaji polisi kecil, maka (1) Polisi perlu kerja sampingan dan (2) Polisi sulit memberantas korupsi.
Polisi punya pekerjaan sambilan sudah lama saya tahu. Bahwa hal ini dikaitkan dengan kesulitannya memberantas korupsi, itu membuat kaget. Saya salut karena ada polisi yang tidak munafik. Jika keterusterangan itu diungkap sejak dulu, tidak ada gunanya polisi berkukuh memeriksa kasus simulator pengemudi. Serahkan saja kepada KPK, yang gajinya lebih besar dan tak perlu kerja sambilan. Jika pernyataan ini dilontarkan jauh-jauh hari, masyarakat pun tidak kecewa jika kasus rekening gendut di kepolisian tidak diusut. Bukankah tidak mampu? Jangan-jangan itu hasil kerja sambilan.
Seperti apa, ya, kerja sambilan polisi? Apakah seorang polisi berpangkat brigadir satu pulang dari dinas lalu pergi ke pasar menjadi juru angkut barang? Rasanya tidak. Pekerjaan sampingannya lain, misalnya mendatangi tempat sabung ayam, lalu memanggil panitia, lalu berbisik, "Saya bisa membubarkan ini jika mau", lalu panitia mengambil dompet dan mengeluarkan sejumlah uang, lalu polisi pergi.
Jika contohnya itu, betapa tebal kalau diurai semua. Di setiap jenjang kepangkatan dan di setiap bidang tugas, pasti ada pekerjaan sampingan. Antara brigadir dan komisaris pasti berbeda kerja sambilannya, lalu bayangkan pula apa pekerjaan sampingan seorang jenderal. Gaji jenderal polisi tak ada yang cukup untuk hidup sekeluarga, menurut Jenderal Nanan Sukarna. Lalu, kenapa jenderal polisi punya rumah yang bagus, punya mobil banyak, dan tabungan miliaran rupiah? Saya pernah "menyelidik", di kabupaten yang pembangunan kompleks permukimannya gencar, ada saja rumah yang dimiliki kepala kepolisian resor. Kalau gajinya tak cukup, kok bisa membeli rumah?
Saya pun pernah membanding-bandingkan penghasilan dengan teman seangkatan di SMP. Teman itu masuk Akabri Bag. Kepolisian (sekarang Akademi Kepolisian). Lulus dari sana bekerja berpindah-pindah, beberapa kali menjadi Kepala Polres, lalu Wakil Kepala Polda, dan pensiun berbintang satu. Gaji dia selalu di bawah gaji saya sebagai wartawan. Tapi, ketika sama-sama pensiun, saya kok "begitu miskin" dibanding dia? Padahal pekerjaan sampingan saya ada: menulis buku. Pekerjaan sampingan dia tak pernah ketahuan.
Saya menduga "pekerjaan sampingan" (sekarang pakai tanda petik) seperti yang dikatakan Jenderal Nanan Sukarna ada kaitan dengan jabatan. Semakin tinggi pangkat dan jabatan, penghasilan dari "pekerjaan sampingan" itu pasti nilainya membesar. Nah, kalau dikaitkan dengan kesulitan polisi memberantas korupsi, apakah keterkaitan itu disebabkan oleh adanya "pekerjaan sampingan"? Atau, ah yang ini bukan menuduh, hanya pertanyaan nakal, "pekerjaan sampingan" itu ada unsur korupsinya?
Kesimpulan saya: pemerintah perlu menaikkan gaji polisi, sehingga polisi, apa pun pangkat dan jabatannya, tak mencari "pekerjaan sampingan". Selama polisi mencari "pekerjaan sampingan", perkuat KPK, karena polisi sulit memberantas korupsi.