Putu Setiac
Mulutmu harimaumu. Ini ungkapan kedaluwarsa. Sekarang, ungkapan yang bermakna hati-hati berbicara itu bisa kita ganti, misalnya, mulutmu batumu. Harimau atau batu, yang penting jaga mulut.
Adalah Sutan Bhatoegana yang nyerocos berbicara, kini kena batunya. Untuk suara keras sampai urat lehernya terlihat ketika di-close-up di televisi itu, Sutan harus sungkem plus meminta maaf kepada keluarga Abdurrahman Wahid, karena sudah menuduh pemerintahan Gus Dur tidak bersih--Sutan tak menyebutnya korupsi.
Tatkala Sutan meminta maaf, Ibu Shinta Nuriyah, istri Gus Dur, menasihati politikus Partai Demokrat ini agar berbicara hati-hati. "Ngomong sedikit bisa menimbulkan gejolak," kata Ibu Shinta. Sutan pun mencium tangan Shinta Nuriyah.
Kalau Sutan tidak minta maaf, pendukung Gus Dur yang resah di daerah-daerah, terutama Pemuda Ansor, akan melaporkan Sutan ke polisi. Ketua DPR Marzuki Alie, yang juga politikus Demokrat, setuju jika Sutan dilaporkan ke polisi. Saya yang tak ada urusan dengan kasus ini juga setuju. Ia berharap polisi memprosesnya, dan hasil penyidikan dibawa ke kejaksaan. Lalu kejaksaan meneruskan ke pengadilan, dan hakim yang memutuskan.
Ini lebih fair dan mendidik meski sedikit bertele-tele di zaman yang kebablasan ini. Jika tidak, "pengadilan opini" selalu menjadi "panglima" jika ada kasus seperti ini.
Coba diurai permasalahannya. Bhatoegana bertengkar dengan Adhi Masardi dalam suatu acara yang diliput stasiun televisi. Saya sebut bertengkar karena debat yang disiarkan oleh televisi harus "bertengkar". Kalau penuh sopan santun seperti debat di Amerika, kurang "seksi" diliput. Adhi Masardi menyebutkan pemerintahan SBY tidak bersih, dan gelar "Kesatria" dari Inggris ada kaitannya dengan bisnis minyak. Sutan Bhatoegana berang dengan menyebutkan semua pemerintahan tidak bersih, termasuk pemerintahan Gus Dur, tatkala Adhi Masardi menjadi juru bicara presiden. Nah, ini imbang, semua menjagokan tokohnya, semua mengecilkan tokoh lawan.
Tapi, saat ini opini publik bisa diarahkan tergantung siapa yang menguasai media. Lalu yang lebih menentukan: siapa yang kini dipercaya rakyat, meskipun kepercayaan ini juga berkat penguasaan media. Jelas Masardi di atas angin ketimbang Bhatoegana. Masardi adalah Ketua Indonesia Bangkit dan Gerakan Indonesia Bersih. Orang bersih mana bisa korup--meski saya tak tahu apa saja kegiatan anak ini. Akan halnya Bhatoegana adalah kader Partai Demokrat yang sedang limbung dengan berbagai persoalan dan pendukung pemerintahan SBY. Analoginya, sedan menabrak sepeda. Betapa pun salahnya pendayung sepeda, tetap saja masyarakat menyalahkan pengemudi mobil sedan.
Jika ranah hukum bicara, masyarakat dididik untuk melihat siapa yang salah. Mungkin Masardi yang menghina SBY juga bersalah, meskipun massa Demokrat tidak turun ke jalan. Jangan-jangan Bhatoegana tidak bersalah, meskipun dia sudah "disalahkan massa" karena diadili lewat opini. Atau dua-duanya seri, seperti tim nasional melawan Laos.
Bahaya lain pengadilan opini adalah mulut bisa bebas bicara tak terjaga, bak harimau atau batu. Anggota DPR dilaporkan memeras oleh Menteri BUMN. Jelas rakyat memuji-muji Sang Menteri yang "merakyat" ini, dan menghujat anggota Dewan yang sudah dicap bobrok. Opini publik begitu. Tapi, siapa yang memeras? Tiap hari orangnya diralat. Jadi Pak Menteri bicaranya "kurang dijaga", asal menuduh. Nah, kenapa sesekali tak diselesaikan lewat jalur hukum? Adukan ke polisi. Agar ada efek jera bagi mereka yang tak bisa menjaga mulutnya, agar ada "keadilan opini". Siapa pun dia.