JJ Rizal, Sejarawan
Sutradara perubahan dalam kekuasaan VOC yang wilayahnya terbentang dari Tanjung Harapan sampai Pulau Desima di Jepang adalah para calo. Sebab, sejatinya tangan-tangan para calo itulah yang mengatur semuanya. Bahkan soal siapa yang akan menjadi gubernur jenderal.
Salah satu contohnya adalah kisah naiknya Petrus Albertus van der Parra menjadi gubernur jenderal. Kalau melihat sejumlah arsip, sesungguhnya hampir mustahil Van der Parra bisa menjadi Gubernur Jenderal Kompeni selama periode 1761-1775. Ada aturan bahwa, meskipun pegawai Kompeni mayoritas dari seluruh Eropa, seperti Jerman, Prancis, Skotlandia, Polandia, dan Denmark, pegawai yang dapat menjadi pejabat tinggi dan apalagi gubernur jenderal hanya orang Belanda. Sedangkan Van der Parra, jangankan orang Eropa, dia berdarah campuran Sri Lanka. Pendidikannya pun rendah. Namun calo punya senjata yang pelurunya bisa menembus pintu sekeras apa pun, bahkan menembus pintu besi yang sangat tebal.
Calo di belakang kesuksesan Van der Parra adalah Adriaan Maten. Ia komandan Kompeni di kantor Malabar yang lalu dipanggil ke Batavia untuk menjadi anggota Raad van Indie atau Dewan Hindia, lembaga yang bertugas memilih gubernur jenderal untuk disetujui oleh Heeren XVII di Belanda. Model Maten ternyata hidup terus di Raad van Indie dari zaman ke zaman. Bahkan jauh sebelum Van der Parra, praktek percaloan di Raad van Indie sudah berjalan, sehingga Dirk van Cloon, yang juga keturunan Asia, bisa naik menjadi gubernur jenderal selama periode 1732-1735. Setelah itu, selama periode 1735-1737 bisa dinaikkan lagi Abraham Patras, yang berdarah Prancis.
Praktek percaloan di Raad van Indie itu meramaikan budaya konsesi jabatan, kronisme, dan nepotisme. Kisah hidup Van der Parra dan koneksinya dengan calo di Raad van Indie merupakan contohnya. Dalam konteks ini, hal-hal ajaib pun bisa terjadi, seperti hari pelantikan sebagai gubernur jenderal harus diundur dan disesuaikan dengan hari ulang tahunnya yang dirayakan besar-besaran. Anaknya, Petrus Albertus van der Parra de Jonge, pada umur 13 tahun sudah terdaftar sebagai pejabat Kompeni bergaji tinggi. Hal yang sama terjadi juga dengan anak Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk (1775-1777), yang tersohor rada bodoh tetapi bisa menjadi anggota Raad van Indie. Hal yang paling menakjubkan adalah Riemsdijk, seperti juga Van der Parra, bisa membeli tanah luas yang kemudian menjadi kasus korup. Van der Parra pada 1769 membeli tanah luas di Gambir dan sekitarnya, yang dulu disebut Weltevreden, dengan istana mewah milik orang superkaya Jacob Mossel. Adapun Riemsdijk membeli Tanah Abang.
Demikianlah rata-rata anggota Raad van Indie pensiun sebagai superkaya, sebagaimana halnya para mantan gubernur jenderal. Mereka memiliki simpanan harta. Kekayaan dari konsesi-konsesi percaloan tersebar dari Hindia sampai Belanda. Segala praktek kejahatan mereka pun pada zamannya tidak pernah dapat disentuh.
Situasi itu hasilnya adalah jenis kekuasaan yang picik. Kekuasaan diprivatisasi dan dimanipulasi tidak habis-habis. Pemerintahan tidak membawa keuntungan, selain bagi diri, keluarga, dan kelompok. Walhasil, yang tampil adalah suatu rezim greedy atau rakus.
Zaman berganti, Kompeni pun bangkrut. Sejak itu, kekuasaan mengalami restrukturisasi. Namun sejarawan arsiparis Mona Lohanda menyatakan bahwa mentalitasnya tidak berubah. Percaloan dengan segala implikasinya, berupa nepotisme, kronisme, dan perilaku buruk lainnya, tetap hidup segar. Situasi ini membangkitkan kejengkelan di masyarakat Batavia, sebagaimana ditulis dalam suatu surat kabar untuk menyikapi perilaku buruk pejabat W.J. Th. Horra Schima pada pertengahan abad ke-19: "Kapan kita orang kapok srenta berontak kepada satoe orang kepala miring boeat didjadikan kapala negeri...."