Putu Setia
Kita tunggu dua buku yang layak terbit 2013: A History of Ngangkang dan Ngangkangku, Ngangkangmu.
Pernyataan ini agaknya bergurau. Itu saya ambil dari kicauan @gm_gm di Twitter. Pemilik akun adalah Goenawan Mohamad, orang yang serius sekaligus suka guyon. Di media sosial yang populer ini memang ada puluhan komentar soal ngangkang--istilah yang sedang meledak dan punya rating tinggi.
Ngangkang terkenal karena Pemerintah Kabupaten Lhokseumawe, Aceh, membuat aturan yang melarang wanita duduk ngangkang saat dibonceng. Kenapa wanita yang membonceng saja yang dilarang ngangkang, sedangkan yang menyetir motor boleh ngangkang? Bagaimana menjalankan sepeda motor jika tak ngangkang? Bukankah di Malaysia pembonceng wajib ngangkang, demi keselamatan?
Lalu, jika urusan ngangkang diperluas, di mana saja kaum perempuan tidak boleh ngangkang? Pemusik andal Addie MS (@addiems) mempertanyakan lewat Twitter, kalau perempuan dilarang ngangkang, boleh tidak memainkan cello, drum, harpa. Lalu, bagaimana kalau melahirkan?
Tiba-tiba saya berpikir, memang perlu membuat buku soal ngangkang, meskipun judulnya tak harus A History of Ngangkang atau Ngangkangku, Ngangkangmu. Judulnya bisa (saya lagi serius): Ngangkang Nusantara: Tinjauan Budaya Masyarakat Pluralisme. Sangat akademis. Dalam buku ini diulas apakah ngangkang itu sebuah pornografi (waduh, jadi ingat Undang-Undang tentang Pornografi yang sudah direvisi tapi makin tak berarti itu) atau suatu kebiasaan etnis yang disebut budaya. Di Bali, para perempuan dilarang ngangkang jika sedang membuat sesajen atau bersembahyang, walau tak ada aturan tertulisnya. Mereka harus duduk dengan melipatkan kaki ke belakang, lalu pantat bertumpu pada paha. Sikap duduk ini disebut metimpuh. Ketika ada perempuan Madura yang nimbrung--banyak orang Madura di Bali yang berjualan sate--dia pasti duduk ngangkang dan tak biasa metimpuh. Diejek wanita Bali bahwa ngangkang itu porno, si wanita Madura berkicau: "No porno opo iku, aku pake celana panjang, gak ada yang kelihatan..."
Di Lhokseumawe, dalam perkara ngangkang, yang disoal "ada yang kelihatan" atau sikap kaki? Kalau perempuan Lhokseumawe sudah memakai celana panjang yang longgar, lalu kaki dibalut kaus, apakah tak boleh juga dibonceng dengan ngangkang? Bukankah semua aurat sudah ditutup? Jika urusannya supaya "tidak kelihatan", berarti itu menyangkut cara berbusana. Dilarang pakai rok mini saat dibonceng--dan urusan busana di Aceh sudah diatur--bukan dilarang ngangkang.
Saya ingin berbagi. Wanita pedesaan Bali masa lalu tak pakai "dalaman", baik "atas" maupun "bawah". Kalau menumbuk padi, "barang yang di atas" bergelayutan. Jika hendak pipis, tinggal mengangkat kain sebetis, lalu ngangkang di sembarang tempat. Ada pejabat punya ide agar dibuat larangan tertulis soal itu, malu kalau dipotret turis, karena lukisan wanita Bali masa lalu selalu yang "buka-bukaan". Saya tertawa. Urusan etika (dan kesopanan) seperti itu cukup diberi pengarahan. Lagi pula, ini soal peradaban yang terus bergerak, soal pendidikan, soal ekonomi, soal pergaulan. Kini wanita Bali pedesaan yang mandi di tempat umum malah pakai kain. Justru cewek-cewek kafe di kota yang tak pakai "dalaman" (kata orang, saya enggak tahu lho).
Masalah kecil-kecil begini hanya jadi bahan tertawaan untuk diatur secara formal. Coba kalau tiba-tiba DPR setuju membuat "RUU soal Ngangkang". Studi banding bisa ke suku Maya di Amerika, ke kuil Tsukuba di Jepang, ke lereng Himalaya, selain menemui wanita-wanita modern di Paris dan Amsterdam. Ongkosnya luar biasa mahal.