Putu Setia
Setiap akhir pekan di akhir bulan, saya mengunjungi Romo Imam. Saya ingin ngobrol santai, tidak fokus pada satu masalah, ke mana angin bertiup--namanya saja cari angin. Saya membawa payung sebelum hujan, siapa tahu di jalanan gerimis, nanti saya bisa berteriak: "langit bocor... bocor...."
"Hujan bikin susah. Got mampet, air menggenangi jalan. Banjir di kota, banjir sampah di pantai. Alam tidak bersahabat," kata saya sambil menaruh payung yang belum dibuka.
Baca Juga:
Romo Imam tidak menoleh: "Kalau alam bukan dijadikan sahabat, tinggalkan saja alam semesta ini. Jika nyasar di neraka, suap penjaga surga, peluk bidadari di sana. Gampang, kan?" Saya kaget, kok Romo jadi serius.
"Hujan ini berkah, alam sangat bersahabat," ujar Romo. Ia mulai menatap saya. "Ketika air di pegunungan dialirkan ke kota untuk keperluan hotel, adakah petani mengeluh? Ketika pengusaha air minum kemasan ikut menyumpal mata air, adakah petani gelisah? Ketika air danau disedot untuk menyiram rumput lapangan golf, apakah petani kecewa? Semua kepedihan petani itu pasti ada, tetapi disimpan. Media massa tak tertarik memberitakan. Kini ribuan petani berdoa kepada Penguasa Semesta agar diturunkan hujan, orang-orang kota mengeluh kebanjiran. Gubernur dan presiden kelabakan. Di musim kering, tak ada gubernur dan presiden yang mendekati petani, menanyakan apa yang mereka keluhkan. Pada saat sawah mulai digenangi air dan petani tersenyum, alam malah disalahkan. Dasar tamak."
Tak biasanya Romo menghujat. Saya lebih baik diam. "Sawah mulai hilang di pegunungan, sudah dijual kepada orang kota yang kemudian membangun vila. Petani merambah hutan mencari kayu bakar, berlomba dengan proyek pemerintah yang mengebor bukit mencari gas. Hutan gundul, tak ada pepohonan yang menampung air. Sungai kebanjiran membawa ranting, menghanyutkannya ke laut, dan ranting terdampar di pantai sebagai sampah." Romo berhenti sejenak, lalu bertanya dengan nada ramah: "Kita masih punya Menteri Lingkungan Hidup? Siapa, ya?"
"Sepertinya masih ada, Romo," kata saya. "Tapi saya lupa namanya. Banyak sekali menteri yang saya lupakan, jarang terdengar sih. Yang saya ingat hanya Menteri Olahraga. Itu pun gara-gara dia mengaku terus terang tidak mengerti sama sekali soal olahraga, tak pernah pula berolahraga meskipun cuma senam. Tetapi dia dipilih juga sebagai Menteri Olahraga. Apa enggak hebat yang memilihnya?"
"Ya, kita punya banyak orang hebat," kata Romo, yang mulai cerah wajahnya. "Ada tokoh yang dulu berbuih-buih mengatakan tak akan mendirikan partai. Yang didirikan hanya organisasi massa untuk mengadakan perubahan di negeri ini. Lalu, ada orang yang mendirikan partai, namanya persis dengan nama ormas yang tadi. Sang tokoh berkukuh, ormas lain, partai lain, nama boleh saja sama. Tapi, setelah partai lolos menjadi peserta pemilu, eh, sang tokoh mengambil alih jabatan ketua umum partai. Tanpa pemilihan, hanya penetapan, meniru Yogya yang istimewa. Hebat luar biasa."
"Yang hebat tokoh itu?" tanya saya. Romo menjawab: "Bukan, yang hebat orang-orang yang masih percaya pada sang tokoh. Yang lebih hebat lagi pemerintah yang membiarkan televisi menyiarkan pengukuhan itu berjam-jam."
"Romo," saya menyela. "Itu kan stasiun televisi milik dia, ya, mau-mau dia. Mau menayangkan setan gundul, mau menayangkan keluarganya, mau apa saja, terserah dia dong." Romo kembali berwajah garang. "Betul milik dia, tapi frekuensi yang dipakai milik rakyat. Dan itu terbatas. Kenapa yang terbatas itu dipakai untuk kelompok kecil?"