Putu Setia
Adakah wajah negeri ini semakin kejam? Atau karena media begitu suka memberitakan hal-hal yang ada unsur dramatisnya. Bayangkan, seorang ayah membunuh anak lelakinya yang sedang tumbuh remaja, dengan sadar dan "penuh ikhlas". Hanya karena dendam kepada orang tuanya, seseorang tega membunuh anak usia tiga tahunan. Dengan penuh kebencian, bocah itu akhirnya disemen, bak membikin patung.
Jika contoh diperpanjang dengan kasus kekejaman di luar konteks pembunuhan, daftar itu bisa berderet-deret. Seorang perempuan terjun dari angkot yang ditumpanginya karena takut diperkosa. Hasil akhirnya sama dengan pembunuhan: perempuan itu tewas.
Banyak masalah yang menyebabkan negeri ini menampilkan wajah kejam. Rasa aman menjadi warga negara seperti terkikis, padahal polisi sudah bertambah dengan kecanggihan yang terus ditingkatkan kalau menghadapi teroris, tapi tak mampu menangani pemerkosa di atas angkot. Hukum tidak berjalan, atau hukum bisa ditarik-ulur mengikuti kepentingan kelompok. Atau karena kegamangan menerapkan hukum?
Kerusuhan antar-etnis, misalnya, terus berulang. Di Lampung, perseteruan kelompok transmigran asal Bali dengan penduduk lokal sudah dua kali terjadi dalam rentang waktu yang berselisih sekitar setahun. Hukum tidak dipakai, tak ada pengadilan dan tak ada penjara bagi pembuat onar. Penyelesaian dilakukan di atas kertas bermeterai bahwa telah terjadi perdamaian, lalu dibacakan di depan pejabat dan dikutip media masa. Kerusuhan sejenis lalu menular ke Sumbawa. Sama saja penyelesaiannya, damai tanpa ada penegakan hukum. Aparat kalah oleh ancaman bahwa perseteruan akan terpelihara jika ada yang dinyatakan salah dan ada yang dinyatakan benar.
Masyarakat kita bertambah sakit karena hukum "bertambah sakit". Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi, menyatakan, kalau hukum ditegakkan 50 persen saja, keadaan sudah bisa lebih baik. Artinya, saat ini hukum hanya ditegakkan kurang dari 50 persen. Toh, pemerintah seperti belum punya prioritas bagaimana hukum dijadikan panglima. Setiap hari kita masih membicarakan masalah politik, sibuk mengurusi partai orang lain, terkaget-kaget dengan angka survei, dan setiap saat menggosipkan calon presiden yang orangnya tak bertambah-tambah sejak dulu.
Kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi merambah masyarakat yang jauh nun di desa, namun pemerintah seperti membiarkan dampak buruk terjadi karena tak membekali dan membentengi masyarakat. Ikatan kekerabatan sudah bergeser. Karang taruna, paguyuban tradisional, dan ikatan adat sudah digantikan oleh pertemanan di Facebook dan saling bersautan di Twitter. Di antara keluarga saja sudah jarang ngobrol, karena semuanya punya "saudara lain" dan asyik ngobrol dengan memencet-mencet handphone. Apa pentingnya ngobrol dengan tetangga, kalau ada perlu tinggal di-BBM atau SMS. Jadi pantas, kalau ada anak yang dibunuh lalu ditanam di dalam rumah, tak cepat ada yang tahu. Anak kecil yang tewas lalu dibalut semen, tak ada yang cepat-cepat memergoki. Semua orang asyik dengan peralatan komunikasinya yang canggih dan tak sempat memperhatikan lingkungan sekitar.
Pada akhirnya kita jadi imun dengan korban kekejaman. Tak ada lagi yang tersentak mendengar begitu mudahnya nyawa melayang. Sedangkan kerusuhan dan keonaran di suatu tempat dengan mudahnya ditiru. Aksi unjuk rasa di kota kecil pun saat ini seperti kurang sah jika tidak ada bakar ban bekas dan memblokade jalan, karena setiap saat hal itu dipertontonkan.
Bagaimana kita merawat negeri yang lagi sakit ini dan kapan dokternya datang?