Putu Setia
Kalau saya membeli buku, ada kriteria yang dijadikan patokan. Pertama, siapa penulisnya. Kalaupun belum terkenal, dilihat dulu latar belakangnya. Kemudian, apa yang diulas. Saya tak akan membeli buku tentang peternakan ular, karena saya takut ular. Lalu, tidak terlalu tebal, karena buku itu akan dibaca, bukan dijadikan bantal. Nah, kalau buku itu tidak dibungkus plastik, biasanya saya baca halaman pertama.
Halaman pertama sering kali membatalkan niat saya membeli. Jika halaman itu isinya "Pendahuluan. Buku ini kami tulis dengan maksud....", langsung saya kembalikan ke rak. Ini skripsi atau laporan studi banding wakil rakyat di daerah--saya tak menyebut wakil rakyat di pusat, karena tak pernah membukukan laporannya.
Buku yang layak dibaca adalah yang halaman pertamanya menjanjikan. Isinya bisa rangkuman permasalahan atau janji akan ada suatu misteri yang diungkap atau langsung menggebrak. Tentu menulisnya sulit. Saya pernah gagal membuat buku seperti itu. Kegagalan lebih disebabkan oleh nafsu menggebrak dan memberi janji yang kelewat tinggi, sementara saya tak punya data yang cukup untuk mendukungnya. Atau, masih mengais-ngais data. Menulis halaman kedua jadi sulit. Tetap menurunkan data yang kadarnya lebih rendah membuat mutu berkurang. Tetap menggebrak dengan data yang belum tentu benar akan jadi cemoohan di kemudian hari. Ya, terpaksa hanya berhenti di halaman pertama. Gagal, tak ada halaman kedua.
Anas Urbaningrum, yang baru saja mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, memang tak menyebutkan akan menulis buku. Tapi pernyataannya soal halaman pertama bisa saja kita analogikan sebagai membuat buku. Gebrakan Anas termasuk dinantikan. Di halaman pertama dia sudah menyiratkan akan membongkar misteri besar di republik ini. Anas meminta, halaman-halaman selanjutnya dibaca dengan baik. Ini menyiratkan sebuah buku yang amat berharga--dan mahal. Berhari-hari media massa mengulas dan menebak-nebak halaman kedua dari "buku" Anas itu. Ada yang mengira isinya soal kasus Bank Century, ada yang menebak soal aliran dana kasus Hambalang, ada yang menuduh Anas berani melawan SBY. Bermacam-macam terkaan orang, sementara saya kira Anas justru sedang mengumpulkan data untuk mendukung halaman pertama itu.
Anas pasti sulit menulis halaman kedua. Penyebabnya, di halaman pertama dia sudah telanjur membuat orang berharap. Dalam kasus Bank Century, misalnya, harapan orang adalah Anas mendapat bocoran ada uang yang masuk ke petinggi Demokrat. Kalau tak ada bocoran itu, isi kepala Anas sama dengan anggota Tim Pengawas Kasus Century, karena Anas waktu itu adalah anggota DPR yang menjadi ketua fraksi. Dalam kasus Hambalang, bisa jadi Anas tahu siapa saja yang mendapat aliran dana. Tapi, bukankah hal itu akan memukul balik dia, karena Anas justru jadi tersangka dalam kasus ini? Itu bukan gebrakan, tapi membuat peti mati. Akan halnya ketika Anas menyebut dirinya "bayi yang tidak diharapkan" sebagai bentuk perlawanan kepada SBY, itu sudah dibaca oleh publik sebagai hal yang keliru. Bukankah Anas tetap ketua umum sebelum dinyatakan tersangka oleh KPK?
Jadi, apa yang akan dikatakan Anas di halaman kedua? Kalau "buku" tetap dipaksakan terbit, saya kira isinya jadi semacam ralat yang dikemas dengan bahasa elegan dan puitis, untuk mengelabui pembaca bahwa sebenarnya tak ada sesuatu yang menggebrak. Kalau begitu, ada baiknya Anas menggantung halaman kedua itu di puncak Monas supaya tak ada yang baca, lalu fokus pada persoalan hukum yang menimpanya sehingga ia terlepas dari jeratan Monas.