Putu Setia
Seorang anggota gerombolan bersenjata berteriak:
"Mana kelompok Deki?"
Para tahanan memisah dari kelompok Deki.
Lalu: dor.. dor.. dor. Empat orang terkapar berdarah.
"Selamat, kalian tak ikut mati.
Ayo, tepuk tangan." Para tahanan keplok:
plok... plok... plok....
ROMO Imam bersandar di kursinya. Di depannya ada dua lelaki tegap, berambut cepak, tapi tidak bersenjata. "Ini aib kemanusiaan yang tak kepalang. Harus ditemukan secepatnya dari kelompok mana gerombolan bersenjata itu," kata Romo. "Korbannya memang bukan orang baik-baik, mereka preman juga. Tapi penyerbuan ini menghina simbol negara. Saya minta kalian membantu pengusutan ini. Perlu berapa lama?"
Satu lelaki di depan Romo menjawab: "Tak sampai berbulan-bulan. Tapi pengumumannya baru bisa disampaikan paling cepat tiga tahun lagi."
Romo Imam kaget. Lelaki itu menenangkannya. "Romo, harap maklum, ini melibatkan instansi resmi. Gerombolan bersenjata itu kelompok terlatih, dan yang paling utama terlatih untuk membunuh. Mereka mengenakan penutup kepala, yang tampak hanya mata. Menggunakan rompi hitam berkantong banyak. Ada perangkat komunikasi wireless, speaker mini di telinga, dan microphone kecil di pundak. Mengenakan sarung tangan hitam, berkaus warna gelap dan celana panjang yang juga warna gelap. Menyandang senjata laras panjang jenis AK-47, beberapa di antaranya menyelipkan pistol di pinggang di balik rompi, dan ada yang membawa granat tangan. Cara mereka menembak sangat tenang. Bahkan, setelah itu, mereka meminta tahanan lain bertepuk tangan. Tak ada kegelisahan. Saya pernah bertanya kepada seorang anggota Brimob yang ditugasi menembak mati tahanan narkoba yang dieksekusi. Dia dan teman-temannya gelisah. Padahal, dari sekitar sepuluh penembak itu, hanya ada satu senjata yang terdapat peluru mematikan. Dan yang ditembak pun sah menurut hukum. Artinya, Romo, hanya orang yang terlatih membunuh yang bisa melakukan pekerjaan seperti di penjara itu."
"Jadi, sudah mengerucut?" tanya Romo. Si lelaki menjawab: "Mengerucut, apalagi motifnya jelas dan ada rangkaian kejadian sebelumnya. Termasuk, ketakutan polisi menyimpan tahanan seperti itu di markasnya, juga ketakutan pimpinan penjara yang sudah meminta bantuan. Jadi, penyerbuan itu sudah diduga."
"Ya, saya tahu informasi itu," kata Romo, menyela. "Kalau sudah mengerucut, kenapa pengusutan bisa lama?"
Lelaki itu menjawab: "Yang mengerucut baru dugaan, buktinya harus dicari. Secanggih-canggihnya gerombolan di luar instansi resmi, tetap dugaan besar ada di instansi resmi. Masalahnya, pimpinan instansi resmi sudah sejak awal pasang badan: tak ada anggotanya yang terlibat. Andaikata pun kemudian pintu pengusutan dibuka lebar dan dugaan menjadi sangkaan karena ditemukan bukti, apa bisa langsung diumumkan?"
"Kenapa tak bisa?" suara Romo meninggi. Lelaki itu tetap tenang: "Romo seperti tidak tahu. Presiden kita digertak dengan kudeta oleh pimpinan sanggar teater saja takut, apalagi digertak oleh instansi bersenjata. Karena itu, pengumumannya menunggu pemerintahan baru yang presidennya lebih berani, dan itu pun setelah pemerintahan stabil. Sekitar tiga tahunlah. Syukur-syukur masyarakat juga lupa."
Romo terbahak, tapi jelas kecewa. "Kalau kamu yang mengusut, butuh berapa lama?" tanya dia ke lelaki yang satu lagi. Lelaki itu menjawab: "Saya termasuk pengikut Pak Wiranto, hanya perlu satu hari."
"Satu hari?" Romo terbelalak. Lelaki itu tetap tenang: "Ya, semuanya sudah gamblang. Cuma, pengumuman hasil pengusutan dan gonjang-ganjingnya bukan urusan saya."