Penyerbu Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogya, terungkap sudah. Mereka adalah sebelas prajurit Kopassus. Tim yang berhasil mengungkap adalah tim dari TNI Angkatan Darat, sementara tim dari kepolisian dan Komnas HAM masih bekerja.
Awalnya, saya sempat ragu akan tim yang dipimpin Brigadir Jenderal Unggul Yudoyono ini. Bukan karena ia memakai nama Yudoyono, melainkan lantaran bintang di pundaknya satu, sementara yang berbintang dua, yaitu Pangdam Diponegoro, dengan yakin menjamin tak ada prajurit TNI AD yang terlibat. Saya salut kepada Pak Unggul.
Ketika memaparkan hasil investigasi itu, Brigjen Unggul menyebutkan, para penyerbu secara kesatria dan dilandasi kejujuran serta tanggung jawab mengakui perbuatan itu pada hari pertama investigasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung bereaksi positif. SBY memuji para prajurit yang telah mengakui perbuatannya itu sebagai sikap bertanggung jawab dan berjiwa kesatria. Tetapi SBY tetap menegaskan tindakan main hakim itu tidak dibenarkan.
Kedua Yudhoyono ini pasti taat pada aturan, termasuk aturan bertata bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti kata kesatria sebagai: (1) orang (prajurit, perwira) yang gagah berani, pemberani; (2) kasta kedua dalam masyarakat Hindu. Tak ada penjelasan lainnya.
Mengacu ke kamus, tak ada celah apa pun untuk membantah ke-kesatria-an para prajurit Kopassus yang menyerbu dan menewaskan empat tahanan titipan polisi itu. Mereka prajurit, mereka gagah dan berani. Ya sudah, klop. Lalu mereka jujur mengakui perbuatannya ketika ditanya tim investigasi. Dan mereka siap bertanggung jawab jika pengadilan--militer atau sipil saya tak peduli--menjatuhkan hukuman.
Cuma, saya jadi sulit tidur. Kalimat "berjiwa kesatria, jujur, serta bertanggung jawab" melayang-layang di depan mata saya. Penyandang kesatria kok menyerbu dengan paksa di malam hari, menodongkan senjata, lalu menembakkannya dalam jarak dekat, dan kabur. Yang mana jiwa kesatria itu? Dalam benak saya, seorang kesatria tak akan main keroyok, ia berani berduel satu lawan satu. Kalau lawan tak pakai senjata, seorang kesatria harus menghadapinya juga tanpa senjata. Penyerbu ke Lapas Cebongan itu sama sekali tidak berjiwa kesatria, begitu bisikan hati saya. Apalagi jujur dan bertanggung jawab. Kalau jujur, begitu selesai "melampiaskan dendam", mereka melapor ke atasannya, bukan mengakui perbuatan setelah ditanya. Maklumlah, latar belakang saya penonton wayang kulit epos Mahabharata, di mana kesatria Pandawa dan Kurawa selalu berduel tanpa main keroyok. Bahkan, di malam hari, pertempuran dihentikan. Tapi saya tak menyesal mendapat pendidikan moral lewat "sesuluh" Mahabharata.
Yang saya khawatirkan, bangsa ini mengalami pergeseran moral dalam menyikapi masalah kekerasan. Saya setuju premanisme diberantas. Bukankah itu sudah diperintahkan Presiden kepada Kapolri? Masak, saya tak setuju. Tetapi haruskah memberantas itu dengan cara-cara kekerasan, main dor? Hukum haruslah menjadi payung dalam pemberantasan itu.
Dengan permohonan maaf sebesar-besarnya, saya harus katakan, yang menjadi preman itu kebanyakan saudara kita dari Indonesia timur. Apakah ini bawaan etnis tertentu? Saya yakin bukan itu, tetapi kemiskinan dan pengangguranlah yang jadi biangnya. Artinya, pemerintah harus sadar bahwa Indonesia timur selama ini tak mendapat perhatian selayaknya. Pemerintah lupa membangun di sana. Kalau kesejahteraan ada di sana, mereka pasti akan menjadi kesatria - baik menurut kamus maupun "menurut" Mahabharata.