Putu Setia
@mpujayaprema
Barangkali karena penampilan saya lusuh ketika menemui Romo Imam, beliau langsung nyerocos: "Lagi ruwet, ya? Apa dicoret dari daftar calon legislatif?" Saya hanya tersenyum dan mengambil tempat duduk di depannya.
"Apakah Romo melihat saya kurang waras selama ini?" tanya saya. "Kalau saya punya uang Rp 6 miliar, saya akan membeli sawah di kampung. Saya ajak petani menanam bawang merah dan bawang putih. Saya sudah tahu teknik menanam bawang putih di daerah tropis. Ini lebih bermanfaat dibanding nyaleg di DPR."
Romo tak bereaksi, mungkin pernyataan saya terlalu idealis. Atau terlalu klise. "Balik modalnya lama, dan untungnya tidak banyak," kata Romo dengan tenang. "Yang saya dengar, caleg mengeluarkan uang Rp 6 miliar tidak rugi, asalkan berhasil duduk di gedung Senayan. Balik modalnya cepat. Tahun ketiga sudah menerima untung."
Saya tertawa ngakak. Romo pasti menyindir. "Romo betul, orang yang nyaleg ke DPR itu gayanya saja seperti malaikat, sok dermawan yang membela rakyat. Apalagi kalau mendengar komentarnya, rasanya mau muntah. Ada yang bilang mereka tidak berminat tetapi rakyat yang meminta. Padahal mereka berbulan-bulan kasak-kusuk minta dipilih. Ada artis yang bilang dia mau menjadi calon karena dapat wangsit di Hari Kartini. Gombal, kok Kartini dibawa-bawa. Apakah mereka baca surat-surat Kartini? Romo, mereka itu sebenarnya tengkulak. Dengan modal Rp 6 miliar, lalu mengutak-atik anggaran negara, dua tahun sudah kembali modal. Lalu terima untungnya, seperti kata Romo. Katakanlah di tahun ketiga ditangkap KPK, itu dianggap musibah. Paling dihukum tiga tahun. Balik dari penjara, masih tetap untung karena hartanya tak disita. Undang-undang kita lemah menjerat maling-maling itu."
Romo menyela, kali ini serius. "Untuk membuat negara ini bersih dari koruptor bermental tengkulak tengik itu, perlu undang-undang yang lebih bagus. Banyak undang-undang yang harus diperbarui. Bukan hanya yang menyangkut korupsi, juga soal kepartaian, pajak, dan sebagainya. Itu tugas penting wakil rakyat pilihan 2014 nanti."
"Tapi," saya memotong, "bagaimana mengharap ada perbaikan undang-undang kalau yang duduk di sana sebagian besar wajah lama? Kalaupun ada yang baru, mereka itu artis yang ilmu tata negaranya diragukan. Apakah undang-undang yang ideal di negeri ini bisa dipercayakan kepada artis penyanyi dangdut dan pelawak?"
Saya kemudian menambahkan info kepada Romo Imam, bagaimana tidak etisnya pencalonan legislatif ini. Ibas, putra sang presiden, mundur dari anggota DPR karena ingin fokus mengurus keluarganya. La, sekarang kok mencalonkan diri. Apakah orang mundur tiba-tiba bisa maju? Susno Duadji divonis penjara 3 tahun lebih di tingkat kasasi--pengadilan paling tinggi. Kok bisa dicalonkan? Mantan narapidana, yang secara moral mestinya tobat, enak sekali ingin menjadi wakil rakyat dan mau mengurusi rakyat. Logika berpikirnya aneh dan menghina kecerdasan rakyat dengan gayanya yang bodoh itu--padahal mereka semestinya memberi teladan.
"Kalau begitu, mereka dan partai yang mencalonkan harus dihukum," kata Romo. Saya setuju. Tapi bagaimana caranya menghukum, karena keajaiban itu merata di semua partai? "Harus ada lembaga swasta yang mencari tahu siapa-siapa saja orang yang tak pantas dipilih. Lalu dibuat daftar orang yang bisa dipilih tanpa memandang partai mana yang mencalonkannya," usul Romo.
Saya setuju, tapi tetap saja ruwet. Ibarat komputer, negeri ini memang harus diinstal ulang. Namun mari kita tidak mencemooh negeri tercinta: I.N.D.O.N.E.S.I.A.