Putu Setia
Saya pernah berjanji untuk tidak membaca dan menonton apa pun mengenai Eyang Subur, guru spiritual para selebritas yang kini dicaci oleh para selebritas itu sendiri. Alasan saya sederhana: perselisihan di antara para selebritas itu hanya untuk mendongkrak kembali popularitas mereka yang sudah mulai redup. Apa yang saya dapatkan?
Tapi, dalam situasi di mana televisi memuja peringkat (rating) dan berita politik membosankan, lingkungan saya tak mendukung. Melangkah sedikit saja, Eyang Subur selalu hadir. Orang membela dan orang mencaci, semakin membuat Eyang populer. Astaga, kepopuleran itu membuat Eyang Subur ingin nyapres--tidak sekadar nyaleg. "Ya, benar sekali, Bro, dia ingin nyapres buat 2014," ujar Ramdhan Alamsyah, juru bicara merangkap pengacara Eyang.
Apakah saya harus bilang "wow" gitu? Nanti terkesan melecehkan. Dulu, ketika Rhoma Irama berkeinginan nyapres, saya bilang: "terlaluuu..." Ungkapan "terlalu" itu dari lagu Bang Haji, memang sedikit sinis. Ternyata saya salah, ada partai yang menampung keinginan Bang Haji itu. Saya jadi malu.
Jika dirunut ke belakang, saya kurang sreg mendengar Megawati mau "maju" di Pemilu 2014. Begitu pula Wiranto dan Prabowo, bahkan Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie sekalipun. Lagi-lagi alasan saya sederhana, beliau "tokoh masa lalu", gerak langkahnya sudah diketahui. Saya ingin wajah baru, saya bisa menyebut banyak orang. Tapi adakah partai yang mengusung mereka, karena mereka bukan kader partai dan bukan selebritas?
Partai politik lebih senang mengusung orang yang sudah populer karena mereka lebih disenangi rakyat desa dibanding orang pintar yang tak dikenal. Calon legislator contohnya. Kaum populer itu bahkan bisa mencalonkan diri di beberapa partai--mereka lupa bahwa komisioner KPU mau kerja teliti. Dan nanti, ketika orang-orang populer itu masuk Senayan, mereka bisa memberi inspirasi untuk masuknya orang populer lain sebagai calon presiden. Ya, semacam Eyang Subur atau boleh jadi ditambah Arya Wiguna--itu gdiduga musuhh Si Eyang.
Jika dalam pemilu presiden nanti pilihan yang tersedia Megawati, Prabowo, Wiranto, Aburizal, Eyang Subur, Arya Wiguna, plus tokoh baru yang melejit luar biasa belakangan ini--Vitalia Sesha--siapa yang saya pilih? Kalau ada fatwa yang menyebut golput itu haram, saya pasti memilih nama-nama di urutan depan. Namun keponakan-keponakan saya di desa bisa jadi memilih Vitalia. Mereka terbiasa--karena sudah pengalaman dalam pilkada bupati dan gubernur--memilih dengan cara nyeleneh dan "tidak perlu bertanggung jawab". Mereka putus asa dengan keadaan, dan pemilihan pemimpin pun dianggap main-main, karena memang diberi contoh dari atas, dan media massa juga mengumbar "permainan" itu. Orang pintar sudah masuk angin, orang populer bablas angine.
Semakin tertutup angan-angan saya untuk mendapatkan presiden dengan wajah baru yang punya kemampuan serta wawasan. Jagoan saya tidak berpartai, dan partai enggan mengambilnya karena ongkos mempopulerkannya ke desa-desa perlu biaya tinggi. Mereka juga tak punya dana. Saya kira ada yang perlu dibenahi, sistem memilih pemimpin yang bisa membuat negeri ini lebih baik. Entah itu undang-undang atau aturan lain. Masalahnya--kok melingkar di sini terus, ya--bagaimana membuat undang-undang yang baik kalau parlemen isinya wajah lama yang sudah tak becus membuat undang-undang, ditambah para selebritas yang tak paham hukum. Kalau begini terus, hanya mukjizat yang bisa menyegarkan negeri ini. Saya harus pasrah menanti mukjizat itu, tetapi bukan tsunami.