Putu Setia
Geng motor itu sekadar kenakalan remaja ataukah sudah merupakan kelompok kriminal yang harus segera diatasi? Dulu, anak-anak muda yang suka balapan liar ini hanyalah menyalurkan rasa frustrasinya. Frustrasi karena tak mendapatkan kasih sayang di rumah akibat sudah tipisnya komunikasi antara anak dan orang tua. Frustrasi dengan keadaan saat ini, di sekeliling mereka sudah terjadi berbagai ketidaknormalan. Juga masalah kurangnya sarana untuk menyalurkan kreativitas yang positif, misalnya lapangan atau alun-alun kota yang berubah menjadi mal. Lapangan basket dan voli lebih sulit dicari dibanding supermarket.
Sekarang geng motor sudah naik kelas. Bukan lagi masalah kenakalan, tapi sudah menjadi pelaku kriminal. Di Pekanbaru, anggota geng motor merampok plus memperkosa, melempari kantor polisi, dan melakukan berbagai tindak kejahatan lain. Di Makassar, geng motor melakukan penganiayaan terhadap jurnalis. Di Jakarta, geng motor menabrak orang di jalanan, dan mereka cuek begitu saja. Hampir di semua kota, baik ibu kota provinsi maupun ibu kota kabupaten, geng motor itu ada dengan berbagai nama yang aneh-aneh. Secara berkelompok, mereka bisa saja menjarah minimarket, bahkan memalak pedagang kecil di jalanan. Kalau saja mereka sempat menghimpun diri secara nasional, apalagi membentuk Partai Geng Motor, jangan-jangan bisa menang dalam pemilihan umum.
Polisi mengaku kewalahan karena personel yang terbatas. Itu saya ketahui ketika malam-malam ikut nongkrong di arena balapan liar ini, di jalanan mulus yang lurus panjang di kompleks Pemerintahan Provinsi Bali di Denpasar. Dengan personel yang terbatas, polisi hanya bisa mengawasi beberapa jam. Begitu polisi kabur, aksi kebut-kebutan dimulai. Pesertanya setiap malam bertambah.
Adakah pengaruh dari mudahnya memiliki sepeda motor? Barangkali begitu. Membeli motor dengan cicilan hanya butuh satu juta rupiah ditambah kartu identitas, motor bekas tetapi lumayan bisa lari kencang pun sudah bisa diambil dari dealer. Lalu, kalau cicilan tak dibayar sampai dua bulan, motor diambil kembali. Ini artinya, para anggota geng motor itu hanya menyewa motor untuk ugal-ugalan.
Perilaku ugal-ugalan itu terasa juga di jalanan umum, meski tak begitu brutal jika anggota kelompoknya tidak banyak. Namun tetap saja memprihatinkan. Mestinya ada upaya lebih serius untuk menangani kenakalan yang menjurus ke aksi kriminalitas ini. Pemberian surat izin mengemudi yang terlalu mudah, bahkan sudah mengabaikan faktor umur--banyak anggota geng motor yang masih di sekolah menengah pertama yang semestinya belum cukup umur mendapat SIM. Razia polisi di jalanan yang cukup berakhir dengan "aksi damai". Pemerintah yang begitu memanjakan pemilik motor dengan pajak yang ringan, bahkan hampir saja melakukan blunder dengan memberi harga spesial untuk Premium bagi pemilik motor.
Siapa sekarang ini memperhatikan para remaja itu? Sekolah sudah lepas tangan begitu anak-anak ini berada di luar sekolah. Orang tua mereka tak lagi sempat memperhatikan anak remajanya. Organisasi nonformal, semacam Karang Taruna, sudah mulai tak berperan karena pengayoman dari pemerintah mulai berkurang. Organisasi yang formal, sebut misalnya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), tak juga meliriknya karena KNPI sudah dikuasai "pemuda berumur". Partai politik pun sama sekali tak melirik anak-anak ini. Mereka, para remaja yang kini frustrasi dan tak tahu harus berbuat apa di tengah ingar-bingar urusan politik ini, seperti anak ayam kehilangan induk. Dan geng motor merekrutnya. Mari prihatin.