Putu Setia
Dalam cerita klasik sastra India yang di negeri ini sering disebut "jagat pewayangan", tokoh Rahwana dinamai juga Prabu Dasamuka. Dasamuka artinya bermuka sepuluh. Kesepuluh wajah itu mewakili sifat-sifat buruk Rahwana, seperti iri, dengki, tamak, dan seterusnya. Hikayat Ramayana memang menampilkan tokoh kesatria yang nyaris tiada salah, yakni Rama dan tokoh jahat yang nyaris tak ada yang benar, yaitu Rahwana. Berbeda dengan Mahabharata, yang menampilkan tokoh-tokoh yang semuanya punya masalah.
Kemudian, dalam sastra kitab-kitab Hindu, ada tokoh yang bermuka tiga: Siwa. Ini mewakili sifat-sifat mulia: Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Ketiga sifat berjenjang yang jadi tujuan hidup kelahiran manusia. Lalu, di Kota Denpasar, Bali, ada patung caturmuka, ?gtokoh?h setengah raksasa berwajah empat. Apa maknanya? Tak ada apa-apa, patung yang tidak sakral ini berdiri di tengah persimpangan empat yang ramai.
Kini, santer istilah dua muka. Istilah yang memenuhi halaman media massa dan laman media sosial, dari menit ke menit. Apa makna dwimuka itu? Apakah melambangkan sifat-sifat buruk seperti dasamuka, atau melambangkan sifat-sifat mulia seperti trimuka, atau tak punya arti apa-apa seperti caturmuka? Mari diurai dulu, karena masalah ini sangat peka. Bukan soal legenda, bukan pula soal keyakinan, melainkan masalah politik.
Entah siapa yang mula menyebut istilah dua muka ini. Yang pasti, dalam siaran di televisi, hal itu diucapkan oleh Ketua Fraksi Demokrat di DPR, Nurhayati Ali Assegaf. Nurhayati menuduh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menerapkan politik dua muka. Muka yang satu ada di pihak pemerintah, dengan bergabung di barisan koalisi. Sebagai mitra pemerintah yang berkuasa, PKS mendapatkan jatah tiga kursi. Adapun muka yang satu lagi menentang kebijakan pemerintah, dengan tidak menyetujui kenaikan harga minyak. gSebagai partai Islam, ini memalukan,h kata Nurhayati.
Tanpa membawa Islam, mari kita lihat apakah ini baik atau buruk. Bagi PKS, tentu saja baik. Partai ini seolah-olah mewakili rakyat yang menolak kenaikan harga minyak, dan seolah-olah berseberangan dengan pemerintah yang kini banyak dikecam. PKS ingin meraih citra dari satu muka ini. Adapun muka yang lain tetap ikut barisan koalisi. Tiga kementerian jatah PKS pasti menghasilkan giuran uangh, meskipun barangkali tak memenuhi target Rp 2 triliun itu. Jadi, dua muka itu, yang satu demi citra, dan yang satu demi uangsudahlah, tak usah ditutupi.
Namun, apakah baik buat PKS juga baik untuk kehidupan partai politik, baik untuk perjalanan demokrasi ke depan, baik dari sisi moral? Apakah dua muka itu bisa dijadikan teladan untuk perjalanan bangsa ini ke depan? Ini yang perlu ditelaah, kenapa dua muka itu bisa muncul.
PKS sudah sering menusuk barisan koalisi, dari depan maupun dari belakang. Pimpinan mereka belajar dari pengalaman, penusukan itu tak mendapat ganjaran karena mereka tahu pimpinan koalisi sayang kepada mereka, juga takut karena membawa agama yang bersih dan suci, selain memang pimpinan koalisi tidak berani tegas. Ini membuat PKS semakin berani bermuka dua, apalagi menjelang Pemilu 2014, dan apalagi dalam keadaan tersudut karena kasus impor daging sapi.
Koalisi-lah yang seharusnya dievaluasi, terutama pasca-Pemilu 2014. Apakah harus berbentuk seperti sekarang, jatah-jatahan menteri--yang artinya jatah-jatahan menggerogoti uang negara untuk partai. Siapa tahu ada sistem, koalisi hanya di parlemen, sementara di kabinet isinya profesional. Bukankah mengurusi satu muka saja sulit, apalagi dua muka.