Inilah penantian yang lebih dramatis dari "Menunggu Godot", padahal ini bukan pentas teater: menunggu kenaikan harga bahan bakar minyak. Setiap saat berita kenaikan itu muncul, sudah berpuluh pengamat memberi tanggapan, sudah ribuan batu dilemparkan mahasiswa di Makassar, tapi tak seorang pun yang bisa memastikan kapan harga itu akan naik. Bahkan jadi naik atau tidak bak menghitung bunyi tokek.
Inilah beda nyata antara Orde Baru dan orde sekarang--saya sering bingung memberi nama orde ini--yang paling mencolok. Di masa Orde Baru, masyarakat tiba-tiba saja menyaksikan Menteri Pertambangan muncul di layar televisi sekitar pukul sepuluh malam, seusai siaran Dunia Dalam Berita di TVRI. Di situ diumumkan harga baru bahan bakar minyak yang berlaku pukul 00.00 tengah malam. Orang yang belum tidur langsung menyerbu SPBU, dan antre panjang dengan pembelian yang dibatasi. Yang setengah tidur ada yang malas ke luar rumah, toh besok-besok akan tetap saja membeli minyak.
Era ini, kenaikan harga minyak lebih pada wacana, dan orang menebak-nebak kapan waktunya--yang ternyata sering salah. Wacana itu bukan sehari-dua hari, melainkan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Para pengusaha kecil sibuk berhitung, kalau harga minyak sekian, produk dijual sekian. Ada yang menahan barang dulu, sibuk mengkalkulasi harga pokok produksi jika harga minyak naik. Eh, ternyata hitung-hitungan itu pun berlarut-larut. Harga minyak tetap baru wacana. Banyak orang tak habis pikir, kalau memang pemerintah masih mengkaji ini-itu, ya, kaji saja, jangan dilempar ke masyarakat. Ketidakpastian membuat bingung para pedagang dan produsen kecil.
Dengan situasi yang serba wacana ini, siapa yang diuntungkan? Yang jelas pengusaha printing digital--sebuah teknik baru membuat spanduk dengan murah, hanya Rp 20 ribu per meter persegi dan bisa kurang kalau membuat banyak. Lihatlah, spanduk Partai Keadilan Sejahtera yang menolak kenaikan harga minyak bertebaran sampai di kota kecamatan. Beberapa hari belakangan ini, muncul "spanduk pesaing" yang setuju kenaikan harga minyak. Perang spanduk membuat untung pengusaha printing.
Yang juga untung adalah rumah produksi yang membuat iklan layanan masyarakat yang intinya setuju subsidi minyak dikurangi untuk dialihkan ke rakyat miskin. Kementerian Perumahan Rakyat membuat iklan yang menyasar keluarga miskin yang rumahnya tak layak. Kementerian Pendidikan menyasar keluarga miskin yang anaknya nyaris berhenti sekolah. Semua kementerian berlomba membuat iklan, bersuara bahwa subsidi minyak harus dialihkan ke orang miskin. Di atas segala-galanya, televisi kecipratan rezeki mendapat biaya penayangan iklan. Berapa miliar rupiah habis untuk kampanye sia-sia ini?
Masalah juga muncul dari ketidakpastian ini. Ada pendapat nilai rupiah yang jatuh terhadap dolar itu akibat tak lekasnya pemerintah memutuskan harga minyak. Jika ini benar, ketidaktegasan pemerintah berdampak "sistemik" terhadap ekonomi nasional.
Kenapa pemerintah galau memutuskan harga minyak? Padahal DPR sudah sejak tahun lalu memberi kebebasan--lewat undang-undang--kepada eksekutif untuk menentukan harga minyak. Justru masalah ini dikembalikan lagi ke DPR bersamaan dengan pembahasan APBN Perubahan. Tentu menjadi kesempatan emas bagi partai politik untuk menggoyang kegalauan pemerintah, sekaligus jadi arena kampanye awal menjelang Pemilu 2014. Rakyat pun mulai diprovokasi. Yang tadinya tenang menghadapi harga baru, bisa jadi berbalik. Sungguh harga yang mahal untuk sebuah penantian yang lama ditunggu ini.