Ada urusan sangat penting yang membuat saya harus mengunjungi Romo Imam. Urusan itu pun sudah saya sampaikan lewat pesan pendek agar Romo siap menerima kedatangan saya. Dan betul, sore itu Romo duduk di sofanya. Segelas teh menemaninya.
"Ayo duduk dekat sini," kata Romo ketika saya duduk di kursi yang agak jauh. Saya pun berdiri lagi dan mendekati Romo. "Kenapa sih takut dekat sini? Takut disiram teh, ya? Memangnya Romo preman?"
Saya langsung tertawa. "Romo jangan menyindir. Debat yang pakai adegan siraman hanya ada di televisi. Mungkin itu hanya akting," kata saya. Romo juga tertawa: "Ya, saya kira cuma akting. Kalau bukan akting, kan main cekik leher."
"Wah, lagi Romo menyindir," kata saya. "Menyindir bagaimana?" Romo serius. "Memangnya saat ini ada orang yang bisa berubah dengan hanya disindir? Orang sudah imun dengan sindiran, orang sudah tak bisa dinasihati dengan baik-baik. Televisi telah mengajarkan budaya baru yang kalau berbicara harus berteriak, tangan harus menuding lawan bicara, dan saling menjegal omongan. Semakin pandai memotong omongan lawan bicara, semakin kasar kata-kata yang dikeluarkan, semakin mendapat tepuk tangan penonton, yang memang sudah disiapkan oleh stasiun televisi itu."
Saya menyela: "Apakah televisi sudah meninggalkan asas mendidik yang di masa lalu dipakai istilah media edukatif?" Romo tertawa, tetapi tetap serius. "Itu zaman Si Unyil. Sekarang tak ada edukatif-edukatifan, tak ada unsur pendidikannya, yang lebih diutamakan adalah dramanya yang dahsyat. Itu artinya kekerasan, ya, keras di lapangan dan keras adu urat leher di studio. Semuanya live tanpa sensor. Bentrokan mahasiswa di Makassar selalu ditunggu, seolah-olah kota ini isinya hanya kekerasan. Padahal di sana ada pertemuan penulis dan sastrawan berbobot, yang sangat mendidik dan mengetengahkan budaya bangsa."
"Seharusnya Komisi Penyiaran jadi kendali dari era kebablasan informasi kekerasan ini. Tapi komisionernya tak berdaya, hanya bisa memberi teguran tanpa tindakan yang lebih," Romo terus melanjutkan. Lalu, apa yang bisa diharapkan? "O ya ada, lembaga-lembaga nonformal di beberapa daerah mulai bersuara. Tapi bukan memprotes siaran televisi yang tak keruan juntrungannya itu, karena tahu tak akan diperhatikan. Yang dilakukan, mengimbau masyarakat untuk beralih ke channel lain yang lebih berbudaya. Televisi di tempat umum, misalnya, di balai adat di Bali, sudah tak menyiarkan lagi acara debat-debatan yang saling serobot omongan."
Oh, ya? Saya kaget. Yang saya tahu, televisi dan radio itu menggunakan frekuensi publik yang terbatas. Karena itu, tak sembarang orang diizinkan mendirikan stasiun televisi dan radio. Seharusnya orang yang mendapat izin itu menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan yang benar-benar publik, untuk bangsa dan masyarakat keseluruhan. Kalau kepemilikan yang terbatas ini dimonopoli untuk mengkampanyekan kekerasan dan debat kusir yang tak berbobot--pakai siram-menyiram air maupun tidak--sangat disayangkan. Padahal pemilik stasiun televisi itu sudah mendapatkan kebebasan mengkampanyekan dirinya sebagai calon presiden, yang kemungkinan besar dengan iklan tak berbayar. Kalau bayar saja tidak, bagaimana menarik pajak iklannya.
Saya hanya bisa bergumam dalam hati, sampai Romo Imam mengingatkan saya: "Lo, urusan penting itu soal apa?" Saya gelagapan, lalu menjawab: "Waduh, maaf Romo, saya lupa apa yang penting itu. Tapi obrolan kita tak kalah pentingnya, mengajak masyarakat cerdas memilih siaran televisi."