Putu Setia
@mpujayaprema
Ramadan adalah bulan baik untuk memperbaiki akhlak. Tapi momentum Ramadan juga baik untuk memperbaiki jalan. Sepanjang Pantura--Pantai Utara--Jawa, suara azan berpadu dengan mesin pemanas aspal di bulan suci ini. Berulang terus setiap tahun.
Teman di kampung saya, yang tak pernah ke Jawa dan hanya melihat kesibukan memperbaiki jalan itu di layar televisi, bertanya: kenapa setiap Lebaran datang, jalan di Jawa itu selalu dibongkar-pasang? Kenapa tak ada perbaikan jalan menjelang Natal atau Nyepi? Kenapa perbaikan jalan saja harus dikaitkan dengan agama tertentu?
Saya tertawa mendengar pertanyaan itu. Maklumlah, di Bali sudah beberapa tahun ini ada tren baru: warung makanan di pinggir jalan berlabel agama, yakni Warung Muslim. "Idiom agama itu karena salah kaprah saja, tak ada maksud buruk," kata saya. "Seperti warung muslim yang maksudnya tidak menjual makanan dari babi, perbaikan jalan itu untuk kepentingan orang mudik yang jumlahnya jutaan dan mereka mayoritas kaum muslim."
Saya tak tahu apakah teman saya bisa menerima penjelasan ini. Kini saya yang tidak jelas, apakah perbaikan jalan selalu menjelang Ramadan karena anggarannya baru turun? Atau jalan itu memang kemampuannya cuma setahun dan siklus rusaknya pas sebelum Ramadan? Kalau usia jalan mulus hanya setahun, kenapa siklus perbaikan tidak digeser saja, misalnya menjelang Natal atau Nyepi--untuk menyenang-nyenangkan minoritas karena hari rayanya pernah dijadikan "label" perbaikan jalan? Siklus perbaikan ini akan jauh lebih bagus karena pada hari Nyepi tak ada arus mudik, sehingga pada Lebaran yang dimeriahkan mudik, jalan sudah mulus. Tentu tidak ada yang waswas seperti sekarang. Dan tentu tidak ada perbaikan yang sembrono, asal tambal-sulam. Yang paling penting, Menteri PU tak salah terus menepati janji. Suatu kali bilang perbaikan selesai sebelum Ramadan, lalu diralat menjadi pertengahan Ramadan.
Yang mengagetkan, disebut-sebut jalan Pantura-ingat, ini akronim dari Pantai Utara--yang membentang sepanjang 1.300 km dari Anyer ke Banyuwangi itu memang dibuat dengan perencanaan tak matang, pola perbaikannya pun tidak matang pula. Dengan ketidakmatangan itu, jalan yang sudah kelihatan mulus hanya bertahan kurang dari enam bulan. Artinya, jalan yang diperbaiki setiap Ramadan itu sesungguhnya sudah rusak jauh sebelum Ramadan yang akan datang. Hanya karena tak ada kepentingan memanjakan pemudik, jalan itu dibiarkan rusak.
Di mana ketidakmatangan itu? Menteri PU Djoko Kirmanto menyebutkan, jalan ini seharusnya dibuat dengan konstruksi beton, sehingga mampu bertahan 10 tahun. Dengan konstruksi sekarang, beban terberat untuk jalan itu hanya mobil di bawah 10 ton. Nah, yang melewati sekarang mobil yang beratnya dua kali lipat. "Wajar jalan itu cepat rusak," kata Menteri PU.
Kalau kita tanya kenapa tidak dirancang saja jalan berkonstruksi beton sehingga jika ada perbaikan maka cukup menunggu 10 Ramadan, jawabannya pasti soal anggaran, dari mana duit, lebih penting mana membuat rel kereta api ganda atau memperbaiki pelabuhan, sehingga barang tak harus diangkut truk gede. Wacananya bisa sepuluh tahun lebih. Tapi kalau bertanya ke Menteri PU begini: "Jalan itu hanya mampu menampung truk seberat 10 ton, kenapa tak dilarang saja truk yang muatannya lebih dari 10 ton, kenapa tak memfungsikan kembali jembatan timbang seperti dulu?" Saya kira Menteri akan tertawa sambil menjawab: "Saya kan hanya membuat jalan. Urusan truk, tanya Menteri Perhubungan." Menteri kita memang pintar-pintar.