@thhadad
Dul Simo, seorang kawan, dengan wajah murka menemui saya. Belum lagi dipersilakan duduk di beranda rumah, ia sudah memberondong saya. "Gara-gara advis Mas dulu, saya sekarang miskin," Dul memekik keras. Menolak sodoran kue Lebaran saya, ia terus saja merepet. "Simpanan dolar di bank semua saya tukarkan rupiah, mengikuti saran Mas. Tapi lihat akibatnya sekarang. Rupiah ambrol. Kalau saya tetap menyimpan dolar, pasti saya sudah lebih kaya," ujarnya sengit.
"Pemerintah bilang jangan panik. Ini tren sementara. Begitu ekspor kita membaik dan melebihi impor, rupiah pasti menguat lagi. Sudahlah, Dul, jangan ikut-ikutan keranjingan dolar," saya menirukan keterangan para pejabat.
"Apa, Mas? Keranjingan dolar? Bukan saya yang keranjingan, tapi para pejabat kita. Mereka minta suap dolar. Kepala SKK Migas ditangkap KPK dengan 400 ribu dolar di tangan. Dari rumahnya disita ratusan ribu dolar. Kotak depositnya berisi ribuan dolar. Dulu ada pejabat yang ketangkep ngumpetin puluhan ribu dolar dalam ember cucian di kamar mandi. Anggota DPR minta suap dalam bentuk 'apel Washington' alias dolar juga. Ingat kasus Wisma Atlet? Waktu digeledah KPK, di meja kerja Sekretaris Kementerian Olahraga ditemukan lebih dari 100 ribu dolar. Kalau pejabat keranjingan dolar, anggota DPR maunya diberi amplop setumpuk dolar. Untuk menang tender mesti siapkan pelicin dolar. Pantas saja dolar laku keras dan otomatis harganya mahal," kata Dul berapi-api.
Saya menjawab kalem. "Itu hanya kasus-kasus. Masih banyak kok pejabat yang mau menerima rupiah. Eh, bukan begitu, maksud saya masih banyak pejabat yang tak mau menerima suap."
Dul Simo menukas lagi. "Mungkin begitu, Mas. Tapi pejabat kita jelas keranjingan dolar. Lihat saja daftar kekayaan mereka. Mereka melapor punya simpanan dolar. Menteri A punya 50 ribu dolar, pejabat setingkat menteri B punya lebih dari 200 ribu dolar, Dirjen C menyimpan puluhan ribu dolar. Sebenarnya mereka ini dibayar negara dalam rupiah atau dolar sih? Asal-usul dolar para pejabat itu perlu diusut, Mas. Mencurigakan. Lha kalau pejabat sudah mabuk dolar, bagaimana rakyat tak meniru ikut-ikutan menukarkan rupiah dengan dolar," kata Dul.
Saya menimpali, "Jangan menyalahkan pejabat terus, Dul. Tanpa meniru pejabat pun, rakyat kita suka main-main dolar. Itu di Kwitang, Jakarta, banyak pedagang jalanan yang jual-beli dolar. Saya tak menyalahkan mereka, tapi jangan semua orang yang punya duit berdagang dolar. Sebentar-sebentar beli, terus jual lagi, lalu beli lagi. Kalau terus begitu, rupiah akan tak menentu nasibnya. Kasihan pengusaha kita. Kalau dolar mahal, mereka tak mampu beli bahan baku dari luar negeri. Ujung-ujungnya, mereka tak bisa ekspor. Kalau ekspor kurang, duit yang masuk ke dalam negeri juga susut. Ekonomi semakin berat."
Sebentar terdiam, Dul kembali bicara. "Mas, bahaya sekali kalau orang kita mempertuhankan dolar, padahal yang mencetak dolar percaya Tuhan. Sejak 1957, pada dolar ditulis 'in God we trust'. Saya usul Bank Indonesia mencantumkan 'kepada Tuhan kita beriman' di lembaran rupiah. Mungkin karena tak ada kata-kata itu, orang berani seenaknya mempermainkan rupiah. Sementara kalau main-main dengan dolar, orang takut kualat. Amerika pandai meyakinkan, memegang dolar berarti termasuk golongan orang-orang yang percaya Tuhan. Para koruptor kita pun rupanya masih ingin dikelompokkan sebagai orang yang percaya Tuhan, dengan minta suap dalam dolar."
Saya tahu sampai di sini Dul Simo sudah melantur jauh.