Putu Setia
Ketika saya remaja, tinggal di kampung pinggiran timur Denpasar, saya ikut menari kecak dengan lakon favorit Ramayana. Saya dan penari lain tertarik pada Wibisana, tokoh yang bijaksana padahal dia bersaudara dengan Rahwana, sang durjana. Akhirnya, jalan di depan tempat pementasan kecak itu kami beri nama Jalan Wibisana.
Bertahun-tahun jalan itu populer. Ketika dijadikan jalan kabupaten dan beraspal licin, nama jalan diganti menjadi Jalan Kecubung. Lo, kok nama bunga yang tak terkenal? "Di kawasan ini jalan-jalan memakai nama bunga. Nama tokoh wayang ada di kawasan lain," begitu alasan pemerintah. Ternyata, pemberian nama jalan ada aturannya. Jalan yang jadi pusat kota lama diberi nama tokoh atau pahlawan masa lalu. Misalnya, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Untung Surapati. Jalan utama perluasan kota nama tokoh masa kini: Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, dan seterusnya. Di luar jalan utama memakai himpunan, ada nama burung, bunga, wayang, pulau, gunung, danau, dan banyak lagi.
Apakah itu peraturan nasional atau provinsi, tak jelas. Tapi begitulah pemberian jalan di kota-kota di Bali. Orang jadi gampang mencari alamat. Adapun jalan utama baru diberi nama "tokoh masa kini", seperti Jalan Ngurah Rai dan Jalan Profesor Mantra. Jalan tol di atas laut yang baru saja selesai sampai kini belum punya nama, konon sulit mencarikan nama yang sesuai dengan keindahan panorama jalan itu.
Saya tak paham bagaimana di Jakarta. Sepertinya mengikuti nama wilayah atau nama tempat bersejarah yang ada di kawasan itu. Nama jalan pun bisa berubah kalau ada "sejarah baru" di sana. Misalnya, dulu Jalan Pegangsaan Timur, karena dibangun patung proklamator di sana, diganti nama menjadi Jalan Proklamasi.
Lantas, untuk apa mengganti nama Jalan Medan Merdeka, baik yang di utara, selatan, barat, maupun timur? Bukankah kawasan yang kini bernama Monumen Nasional dulunya adalah medan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan oleh Bung Karno disebut Lapangan Merdeka? Karena jadi medan perjuangan menegakkan kemerdekaan, Bung Karno, selain mendirikan Monumen Nasional di sana, memberi nama Medan Merdeka untuk jalan yang mengitarinya. Jika sejarah dihormati, semestinya nama jalan itu dipertahankan.
Mengganti Medan Merdeka Utara dengan nama Bung Karno (atau Sukarno, belum jelas) dengan alasan mengenang jasa beliau, rasanya tak pas. Bandara terbesar di republik ini sudah bernama Soekarno-Hatta. Gelora Senayan juga sudah bernama Gelora Bung Karno. Jalan Bung Hatta (atau Mohamad Hatta) pengganti Medan Merdeka Selatan, hanya karena di sana ada Istana Wakil Presiden, justru "mengecilkan" Bung Hatta. Apa tak ada gedung atau kawasan lain yang layak diberi nama Bung Hatta?
Saya tak ingin melanjutkan dengan kontroversi mengganti Medan Merdeka Barat menjadi Jalan Soeharto dan Medan Merdeka Timur menjadi Jalan Ali Sadikin. Perdebatan bisa panjang. Saya lebih tertarik pada masalah prioritas yang dihadapi bangsa ini. Pada saat rupiah terus melemah dan sebagian besar hasil pertanian diimpor, kenapa mengganti nama jalan harus prioritas? Ada biaya yang timbul. Mengganti papan nama, ganti kop surat, kartu nama, dan urusan jelimet lainnya.
Menghormati Bung Karno justru harus mempertahankan nama jalan yang diwariskan Bung Karno di sekeliling Lapangan Merdeka yang kini berdiri Monas itu. Lagi pula, kalau memang serius niatnya menempatkan Bung Karno sebagai pahlawan yang berjasa kepada Negara ini, saya setuju dengan Ibu Megawati, berilah predikat Bapak Bangsa untuk Sukarno. Bukan dengan menaruh nama Bung Karno di jalanan.