Tadinya saya kira pemerintah tidak peduli kepada petani saja, karena sibuk mengurusi hal-hal besar untuk masyarakat perkotaan. Ini membuat mengalirnya impor produk pertanian ke negeri agraris yang mahasubur ini, seperti bawang, beras, juga kedelai. Ternyata pemerintah juga tidak peduli kepada banyak hal, antara lain museum. Padahal museum jadi simbol dari sebuah kota dan negara yang beradab.
Kita punya berpuluh-puluh museum, baik yang dikelola negara maupun swasta, tapi nasibnya merana. Museum Nasional di Jakarta memang mentereng dari luar. Maklum, di ibu kota negara. Di sana disimpan berbagai jenis benda purbakala yang nilai historisnya sulit diukur dengan rupiah. Ternyata, di balik megahnya bangunan, sistem pengamanannya keropos. Berkali-kali museum ini kecolongan, dan pekan lalu ada empat artefak purbakala yang raib dari sana. Benda itu terbuat dari emas atau setidaknya sepuhan emas kuno dari abad ke-10 Masehi.
Mari berdoa semoga yang mencuri bukan penadah emas. Jika itu terjadi, barang ini hanya dijual berdasarkan berat emasnya, bukan nilai sejarahnya-yang memang sulit dihitung. Lalu dilebur jadi perhiasan. Doakan juga pencurinya bukan sindikat benda purbakala, akan ruwet mengusutnya. Sindikat ini bukannya fiktif. Majalah Tempo pernah menurunkan laporan investigasi keberadaan sindikat ini (September 2008) setelah ketahuan ada korban bernama Lambang Babar Purnomo, yang mayatnya ditemukan di selokan. Lambang adalah arkeolog yang getol membongkar jaringan pencuri benda-benda purbakala, mulai dari pencurian fosil situs Sangiran sampai koleksi Museum Radya Pustaka, Surakarta.
Harap dimaklumi, Sangiran itu sebuah situs terbuka, seperti kebanyakan situs-situs purbakala di berbagai tempat, yang penjaganya mungkin tidak ada. Museum Radya Pustaka tentu dijaga, tapi tak ketat-ketat amat. Museum Gajah, yang memiliki lebih dari 240 ribu koleksi, semestinya dijaga ketat. Apalagi benda artefak yang dicuri pekan lalu itu berada di dalam lemari di lantai dua. Kok bisa dicuri?
Apakah pencurinya tergolong kelas yang "labil ekonomi" (mencuri untuk menyambung hidup) ataukah dari kalangan yang sudah "konspirasi kemakmuran" (maling kaya serakah) jelas tak penting. Lebih penting adalah segera melacak-kalau bisa-pencurinya dan bagaimana mulai peduli kepada lembaga yang bernama museum.
Museum itu diurus oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, sebuah direktorat yang berkali-kali dioper bolak-balik bak main voli. Dioper ke Kementerian Pariwisata tak juga banyak mendatangkan wisatawan, dikembalikan lagi ke Kementerian Pendidikan tak banyak juga orang merasa terdidik dengan belajar di museum. Pembenahan organisasi ke dalam pun kendur, dana makin minim karena ketidakpedulian pemerintah. Apakah Anda juga peduli? Barangkali tidak, meski ketika ada musibah kehilangan ikut prihatin-padahal tak pernah berkunjung ke museum.
Di situlah ajaibnya museum. Semua orang merasa perlu membangun museum. Para menteri berlomba-lomba membuat museum di Taman Mini Indonesia Indah. Instansi lain pun ikut-ikutan. Ada Museum Kereta Api di Ambarawa, ada Museum Subak di Tabanan, ada Museum Tebu di Klaten, dan banyak ragam lagi. Memang penting untuk mengenal "sejarah peradaban". Tapi, setelah berdiri, siapa yang merawatnya? Apakah kementerian menyiapkan dana yang cukup untuk mengelola museum? Mengurusi perut rakyat saja pemerintah kewalahan-bayangkan tempe bisa hilang-apalagi mengurusi benda purbakala.
Mari sisihkan kepedulian kita kepada museum, agar kelak sejarah bangsa ini tak lenyap begitu saja.