Gagal menurunkan harga kedelai dan daging sapi, pemerintah tak mau menyerah mencari jalan lain untuk menyiasati kata "murah". Kali ini, lewat peraturan Menteri Perindustrian, pemerintah meluncurkan mobil murah. Pameran mobil bertaraf internasional pun digelar di Jakarta. Entah benar mobil murah atau pura-pura murah, belum ketahuan juntrungannya.
Mobil itu nanti juga ramah lingkungan. Semuanya produksi luar negeri, seperti halnya asal kedelai dan bawang. Toyota meluncurkan mobil seharga Rp 80 jutaan, Daihatsu sedikit lebih murah, Rp 75 jutaan. Nisan jauh lebih murah, Rp 30 jutaan. Nah, Cina tak mau kalah, akan meluncurkan mobil supermurah, hanya Rp 13 jutaan. Obral obral dibanting dibungkus
Apa reaksi masyarakat? Masyarakat Jakarta dari kalangan menengah ke atas memprotes keras karena mobil murah akan membuat Jakarta tambah macet. Protes itu muncul di media sosial, seperti Facebook ataupun Twitter, dan bisa jadi ditayangkan dari kemacetan di jalan. Mereka menghujat kebijakan pemerintah sembari pegang kemudi, menuduh mobil murah itu jadi biang keladi kemacetan lebih parah. Mereka merasa tidak adil kalau ada orang yang hidupnya di bawah mereka ternyata ikut-ikutan punya mobil. Mereka tak berpikir bahwa mengatasi kemacetan di Jakarta seharusnya bukan hanya dengan memprotes mobil murah, tetapi menyimpan mobil di rumah masing-masing dan bepergian naik angkutan umum.
Kota-kota besar lain pun akan berwajah Jakarta dalam hal kemacetan. Gengsi sekelompok masyarakat yang selama ini hanya mampu membeli mobil bekas langsung mencuat karena bisa memiliki mobil baru. Yang penting mobil baru, murah pula.
Tapi, apa arti "murah" bagi masyarakat pedesaan tatkala tempe dan tahu menghilang, pete sulit didapat, harga bawang melambung, sementara tebu yang mereka tanam dibeli dengan harga murah oleh pabrik? Tak ada artinya kata itu. Murah dan mahalnya sebuah barang bukan karena nilai rupiahnya, melainkan kemampuan untuk memiliki barang itu. Pasti kebanyakan orang desa yang profesinya terhormat, seperti petani, nelayan, dan buruh, belum juga paham, apalagi menikmati kemurahan mobil yang akan diluncurkan pemerintah. Andai pun satu-dua mampu membelinya-mungkin sembari menggadaikan ladangnya -apakah mobil murah itu didesain untuk orang desa? Apakah jalanan di pedesaan yang kebanyakan amburadul cocok dilindas mobil ramah lingkungan itu? Bahan bakarnya saja nonsubsidi-ini teori yang pasti tak sesuai dengan kenyataan-betapa sulitnya mencari di pedesaan.
Alhasil, mobil murah hanya menimbulkan kelas-kelas baru yang berada dalam posisi tanggung. Pemiliknya dikecam oleh pengguna mobil nonmurah karena dianggap ikut memacetkan jalan di kota besar, sementara di desa menjadi penambah gengsi baru meski mobil tak bisa optimal dipakai.
Gubernur Jakarta Joko Widodo adalah satu-satunya pejabat yang tak setuju mobil murah ini. Ia sudah menyurati Wakil Presiden Boediono untuk mengingatkan bahwa ada kebijakan yang dilanggar oleh peraturan menteri tentang mobil murah. Mungkin Boediono juga tak setuju, tapi karena beliau pejabat yang biasa-biasa saja, pasti diam. Mana berani dengan presiden. Tinggallah Jokowi yang posisinya terjepit, di satu sisi mengemban tugas mencairkan kemacetan Jakarta, di lain pihak akan menerima kiriman banjir mobil murah. Jokowi yang polos dan apa adanya ini, barangkali, tak sempat berpikir bahwa inilah salah satu cara untuk menjegal pencapresannya. Lawannya bisa berseru: "Lihat tuh, Jakarta tambah macet, apa prestasimu, Jokowi? Urus dulu Jakarta." Ternyata mobil murah itu soal politik.