Suatu siang yang bagus, siang California di akhir Juli 2012: di antara pohon-pohon di taman itu, di sebuah panggung sederhanasepetak teratak kayu tanpa dinding dan dengan atap yang bolong-bolongseorang perempuan memegang bas dan berkata kepada rekannya yang duduk di depan piano: "Saya hanya akan bilang, ini C minor."
Ia seakan-akan menantang sang pianis untuk segera menebak lagu apa yang akan dibawakannya, sesaat sebelum bergabung dalam permainan bunyi yang akan menyusul.
Dan seraya membetot senar basnya, ia pun menyanyikan sebuah lagu dari tahun 1937:
Until I first met you I was lonesome
And when you came in sight, dear,
my heart grew light
Suaranya berat tapi tangkas dalam menyusun dan memecah harmoni, ditingkahi degup pelan-pelan bas di tangannya. Pada ketukan kelima, sang pianis sudah dengan cepat menangkap nada apa yang harus dimasukkannya ke kancah interaksi itu. Dan bunyi pun jadi kaya. Mendadak saja. Dan hadirin yang duduk di antara pohon-pohon itu bertepuk.
Jika apa yang di panggung itu membuat orang terkesima, tentu karena si pemegang bas adalah Nicki Parrott dan sang pianis Rossano Sportiello, dengan Hal Smith pada drum. Tapi konser di Filoli Gardens di Woodside itu tak hanya memukau dan menghibur. Dari teratak sederhana itu ada yang disampaikan kepada kita oleh jazz: orang bisa berbahagia bukan karena sesuatu yang merdu, megah, dan rapi. Orang bisa berbahagia karena kejutan-kejutan kecil yang tanpa tujuan.
Sportiello bercerita kepada para penonton bahwa kelompok itu baru kemarin untuk pertama kalinya bermain bersama. "Itulah asyiknya," katanya. That's the beauty of it. Pianis asal Italia ini, lulusan akademi musik dalam piano klasik, memilih jazz karena ia tergugah oleh improvisasi. Kamu bisa main satu lagu sekarang dan kemudian memainkannya lagi 10 menit kemudiankeduanya tak akan sama. Dalam improvisasi, musik masuk ke dalam dirimu. Berbeda dengan ketika memainkan sonata Beethoven, dalam jazz kau memainkan apa yang kau rasa pada saat itu juga. Ada perasaan merdeka.
Beda di tiap saat, baru di tiap waktumungkin itu kemungkinan yang dibuka oleh jazz. Nicki Parrott: "I like the fact that in Jazz every gig is different." Tiap konser selalu segar.
Jazz adalah desain yang tanpa desain. Di sana tak ada pemisah antara komposisi di depan meja dan permainan di atas panggung. Tak ada beban. Kita mengulang lagu lama, tapi kita tak harus mematuhinya. Kita memberinya intensitas baru.
Bei mir bist du schn means that you're grand
Bei mir bist du schn Is such an old refrain, and yet I should explain It means I am begging for your hand
Jazz tak pernah akan memuja yang satu dan itu-itu juga. Tiap kali ia tak mengulang satu identitas. Maka memang tak masuk akal bahwa Adorno menampik jenis musik ini. Aneh bahwa iamungkin satu-satunya filsuf abad ke-20 yang menulis renungannya tentang musik dengan meyakinkanmenganggap jazz tak benar-benar mengandung improvisasi. Saya tak paham mengapa ia tak memasukkan jazz ke dalam apa yang ia sebut sebagai "une musique informelle" yang spontan dan acuh tak acuh akan apa yang kemudian akan menyusul dari tiap barisnya.
Memang Adorno menganggap jazz sebagai musik yang mudah jadi komoditas dalam industri budaya. Dalam analisisnya, jazz menampakkan "subyek yang tak berdaya". Tapi Adorno agaknya tak melihat ada beda besar antara jazz dan musik pop yang gampang berkompromi dengan permintaan pasar. Kalaupun dalam jazz subyek itu "tak berdaya", itu karena sang seniman, katakanlah Sportiello, tak meletakkan diri sebagai perancang dan pengendali arus. Dalam jazz, rancangan dan kendali tak berada dalam kehendakku. Musik masuk ke dalam diriku. Aku bukan majikan nada dan dunia.
Mungkin itu sebabnya perasaan dan emosi dalam jazz tak dicegahdan kita tercenung mendengarkan suara dan trompet Chet Baker dalam Almost Blue yang seperti ingin menenggelamkan sebuah kesedihan tapi tak sepenuhnya sanggup. Jazz tak pernah takut untuk membiarkan melankoli dan sentimentalitas.
Tapi selalu saja, entah di mana, tiba-tiba perasaan itu berbelok. Mungkin karena di sebelah sana, pemain drum atau pemain bas meningkahi dengan suasana nada yang lain. Tak ada yang hendak dikukuhkan sebagai sesuatu yang utuh. Jazz bukan musik doktriner dan totaliter. Saya kira Heinz Steinert benar ketika ia mengatakan bahwa jazz adalah "seni yang ironis secara mendalam".
Di pentas itu Nicki Parrott menyusupkan perasaan enteng dan bermain-main ketika ia lantunkan frasa Jerman dalam lagu yang merayu ini:
Bei mir bist du schn, please let me explain
Bei mir bist du schn, means you're grand
Ironi, seperti halnya bercanda, bisa merupakan kejutan-kejutan kecil yang tak berencana tapi berharga.
Goenawan Mohamad