Pada suatu hari, 1.600 tahun yang lalu, Leontius berjalan dari Piraeus ke Athena. Ia melihat mayat-mayat tergeletak di bawah tembok utara kota: orang-orang yang dihukum mati. Dalam cerita yang disampaikan Sokrates itu, Leontius, antara jijik dan bernafsu, tak dapat menahan diri untuk mendekat dan menatap tubuh-tubuh yang tak bernyawa itu. Bahkan ia berseru: "Tatap kemari, hai terkutuk! Puaskan menikmati wajahku yang cerah ini!"
Fragmen kecil bisa kita temukan dalam Politeia Plato, risalah yang lebih dikenal dalam versi Inggrisnya sebagai The Republic itu. Jika kita ikuti interpretasi Adi Ophir dalam Plato's Invisible Cities, pusat perhatian kita bukanlah kepada apa dan siapa Leontius. Yang penting adalah tembok kota, jasad-jasad yang tergeletak tanpa dikubur, dan hasrat yang tak rasional di luar pagar itu untuk menatap dan berbicara dengan sejumlah tubuh yang membusuk.
Baca Juga:
Pagar, tembok, garis demarkasi. Dengan itu sebuah kota, atau negeri, atau polis, merumuskan dan menjaga dirinya. Tulis Ophir: "Kota dengan demikian menegaskan dirinya sebagai wilayah kehidupan; perbatasannya adalah juga garis demarkasi antara yang hidup dan yang mati."
Yang hidup, menurut Politeia, adalah manusia. Lebih persis lagi: orang Yunani, laki-laki. Ada sumber yang menyebutkan tiga hal yang disyukuri Sokrates. Pertama, bahwa ia dilahirkan sebagai manusia, bukan hewan. Kedua, bahwa ia dilahirkan sebagai laki-laki, bukan perempuan. Ketiga, bahwa ia orang Yunani, bukan "barbar".
Walhasil, yang mati tak cuma terhampar di luar garis. Mereka juga sebuah perumpamaan tentang kaum yang celaka, terkutuk (seperti kata Leontius), dengan akal budi yang tak berfungsi. Mereka tak butuh keadilan. Merekalah yang disisihkan keadilan. Atau lebih jelas: mereka dihukum karena kehendak menegakkan keadilan.
Tembok kota: demarkasi. Dalam Politeia, sebuah negeri terbentuk karena batas kota yang jelas, dan hanya di dalam batas itu keadilan terjadi.
Hubungan kota dengan "keadilan" esensial. Pertama, karena sebuah negeri selalu memerlukan terjaminnya keadilan; bila tidak, ia akan rusuh. Kedua, hanya bila ada sebuah negeri keadilan bisa dilaksanakan dan dijamin.
Tapi apa gerangan "keadilan"? Politeia, yang ditulis Plato sebagai "rekaman" dialog terkenal Sokrates dengan lawan-lawan bicaranya, pada akhirnya tak menawarkan definisi apa pun. Tiap kali salah satu dari yang hadir memberi rumusan "keadilan", Sokrates berhasil menunjukkan kesalahannya.
Bagi Sokrates sendiri "keadilan" tampaknya bisa terjadi biarpun tanpa konsep. "Keadilan" tak punya definisi. Namun dalam laku dan situasi konkret ia mengentara.
Di sini kita bertemu dengan paradoks "republik" ala Sokrates. Dalam "republik" ini tembok kota adalah tanda garis demarkasi yang jelas untuk keadilan. Tapi apa yang diinginkan di dalamnyayakni "keadilan"tak punya batasan yang tegas.
Tanpa batasan yang tegas itu, tak bisa dikatakan ada ukuran untuk menilai. Benarkah penghuni sebuah negeri manusia yang berakal budi, makhluk yang tak bersifat hewandan meniatkan agar keadilan terlaksana?
Saya bukan pakar pemikiran Yunani Kuno. Saya hanya dapat menduga bahwa jawaban atas pertanyaan itu tersirat dalam dialog Sokrates yang lain: Politikos, yang dalam versi Inggris disebut Statesman. Berbeda dengan yang kita baca dalam Politeia, dalam Politikos ada peran waktu dalam tafsir: pengetahuan tentang apa yang baikdan tentunya juga tentang yang adilbaru memadai bila disadari bahwa pengetahuan itu terjadi dalam waktu (kairos). Ia tak mandek.
Dalam tafsir Leo Strauss, Politikos memanggul mithos tentang dua zaman. Zaman yang lebih awal adalah zaman Kronos, ketika sang mahadewa menentukan segala-galanya. Zaman kemudian adalah zaman Zeus, ketika kehidupan tak seluruhnya diarahkan dewa tertinggi. Manusia dibiarkan sendiri. Dalam ketakadilan dan kekacauan yang berlangsung, manusia harus menemukan jalannya sebaik mungkin. Tapi di masa "kelangkaan" ini, keadilan yang penuh tak akan tercapai.
Politikos memperlihatkan apa yang tak dikatakan dalam Politeia: pemerintahan yang sempurna seperti yang dicitakan Sokrates adalah sesuatu yang mustahil. "Baik" atau "sempurna" dinilai dengan ukuran yang nisbi dan tak bisa kekal. Manusia terbatas.
Dalam keadaan itulah "filsuf" (manusia yang oleh Plato dianggap mendekati tingkat dewa) tak akan pernah jadi raja. Atau bila jadi, ia bukan sepenuhnya "filsuf" lagi. Manusia tak bisa hanya dinilai dari rasionalitasnya. Antara tubuh dan akal budi tak ada garis demarkasi yang bak tembok kota. Yang "barbar" dan yang "beradab" (Sokrates mengidentifikasinya sebagai "Yunani") tak bisa ditentukan sejak lahir. Tak ada yang a priori. Tak ada yang ditentukan Kronos. Pengertian "keadilan" bahkan bertolak dari tak adanya yang ditakdirkan di dalam dan dipastikan di luar.
Politik pun berkecamuk: politik sebagai perjuangan. Memang ada saat-saat ketika politik menjadi proses konstruksi kekuasaan, penyusunan mana yang di dalam dan yang di luar garis. Tapi itubaik dalam bentuk "demokrasi terpimpin" maupun "demokrasi liberal", baik kekuasaan oleh minoritas maupun oleh mayoritastak akan bisa selama-lamanya.
Pada akhirnya akan tampak bahwa pemerintahan yang baik dimulai dengan bersahaja: menyadari bahwa tak ada Zeus atau Tuhan yang membentenginya.
Goenawan Mohamad