TEMPO Interaktif, Jakarta -
Sutradara : Aditya Gumay
Skenario : Aditya Gumay dan Adnin Adlan
Berdasarkan cerita pendek karya Asma Nadia
Pemain : Atik Kanser, Reza Rahadian, Didi Petet, Niniek L. Karim, Ayu Pratiwi, Henidar Amroe
Produksi : Mizan Production dan Smaradhana Pro
Baca Juga:
Sebuah film yang sebetulnya menjanjikan. Atik Kanser tampil bercahaya.
Judul dari film ini sesunguuhnya sudah memberikan segalanya. Lalu dorongan apa yang membuat kita harus membeli DVD dan menyempatkan diri untuk duduk selama 90 menit? Penyajian seorang Atik Kanser sebagai ibu yang sederhana.
Plot film ini sama sekali tidak baru: kerinduan seorang umat (tak berpunya) untuk menunaikan haji. Kita sudah pernah menyaksikan kisah-kisah keinginan untuk naik haji seperti sinetron Tukang Bubur Ayam Naik Haji (Chaerul Umam) dan juga sekelumit hadir dalam plot film Cinta Setaman (Harry Dagoe Suharyadi) di mana tokoh seorang ibu (Jajang C.Noer) yang juga merindukan naik haji.
Film ini dimulai dengan adegan yang menjanjikan. Zein (Reza Rahadian) sang pelukis kaligrafi, seorang duda yang ditinggal isterinya, yang hidup seba kekurangan. Dia kini tinggal bersama Emak (Atik Kanser) yang mencari nafkah dengan membuat kue. Cita-cita Emak untuk naik haji dan keinginan sang putera untuk mewujudkan mimpi sang ibu adalah pusat film ini.
Pada 30 menit pertama, sutradara Aditya Gumay memberikan sesuatu yang menjanjikan. Ada keluarga kaya raya yang sudah berkali-kali naik haji (Didi Petet dan Niniek L Karim) yang puterinya mau ikutan umorh karena acara pergi bersama artis. Naik haji untuk mereka sama mudahnya seperti mereka pergi ke ujung jalan, saking sugihnya keluarga ini. Kita kemudian melihat anak lelaki keluarga kaya ini yang rada kritis tafsir Quran dan Hadits. Dari sana, terasa sutradara Aditya Gumay bakal memasuki arena kritik sosial.
Sayang disayang, ternyata tidak. Mungkin karena sang sutradara merasa perlu kembali ke pusat cerita, yaitu sang Emak ingin naik haji, maka kita disajikan adegan-adegan yang memompa airmata. Zein kalap. Bagaimana tidak kalap. Mantan isteri minta duit, karena anak mereka harus dioperasi dan suami barunya sungguh lelaki sialan. Sang Emak yang baik hati terus saja baik hati meski dirongrong bekas menantu.
Intinya Emak ingin naik haji, begitu rindunya dia pada rumah Tuhan, maka menikmatiNya cukup melalui lukisan anaknya atau kalender dengan foto-foto Ka’bah.
Maka menit-menit selanjutnya ini, kita mulai bertanya, kenapa ide sebagus ini mengarah pada penggarapan sinetron? Bukan hanya pengadeganannya saja, bahkan dialog-dialognya yang kritis dan cerdas pada awal film lama-kelamaan semakin klise pada paruh terakhir film.
Film ini sebetulnya berpotensi untuk menjadi sebuah esei kritis terhadap bagaimana masyarakat kita memandang kehidupan spiritual. Ada politisi yang kepingin naik haji hanya untuk menambah gelar dan menambah pemilih; ada orang kaya raya yang naik haji sebagai bagian dari rutinitas belaka; tetapi Emak kita, emak yang berbudi ini mengatakan : “seandainya Emak tak berhasil pergi ke tanah sucipun, Emak yakin Tuhan tahu, hati Emal sudah ada di situ.”
Akhir film ini, Aditya kembali menjadikannya sebagai sebuah akhir film yang unik. Dan kenapa film ini tetap layak untuk ditonton, tentu saja karena Atik Kanser berhasil menjadi Emak yang kita rindukan.
Leila S.Chudori