Putu Setia
Menunggu adalah penantian yang berat. Apalagi yang ditunggu itu sesuatu yang penting. Peraih Nobel Sastra tahun 1969, Samuel Barclay Beckett (1906-1989), bahkan menggambarkan betapa bisa hilangnya harapan karena menunggu sesuatu yang tak pasti. Itu ada dalam dramanya yang kesohor: Menunggu Godot (Waiting For Godot).
Tapi pengungsi Sinabung tak akan kehilangan harapan menunggu kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masalahnya, SBY sejak awal pekan lalu berjanji akan datang ke Sinabung pada pekan ini, entah besok atau lusa. SBY sibuk luar biasa untuk koordinasi penanggulangan bencana. Jakarta banjir sudah rutin, siapa pun gubernurnya. Namun banjir bandang Manado lebih tragis, 16 jiwa melayang. Padahal SBY tak berjanji ke Manado.
Ini tahun "menunggu" dan "ditunggu-tunggu". Anas Urbaningrum ditunggu banyak orang. Ada yang menunggu kapan dia buka-bukaan membantu KPK untuk menyebut sejumlah orang yang terlibat dalam kasus Hambalang. Ada yang menunggu Anas bebas dari jerat hukum, karena dengan beraninya dia menantang, "Satu rupiah pun Anas korupsi dari Hambalang, Anas siap digantung di Monas." Pernyataan yang tak main-main, seolah Anas punya bukti tak korupsi di Hambalang. Tapi pernyataan itu membuat banyak yang menunggu Anas di Monas sambil menyebut--antara guyon dan serius--menyiapkan tali tambang.
Menunggu sering tidak sabar, memang. Anas beda dengan tersangka lain, sebutlah Ratu Atut, Akil Mochtar, Joko Susilo. Ketiga orang ini, sebelum diadili, hartanya sudah ketahuan melimpah dan disita. Mereka tak membuat perlawanan "siap digantung". Sedangkan Anas, tak satu pun hartanya disegel, bahkan mobil yang tadinya disangka hasil gratifikasi tak disita KPK. Dan Anas melawan, bahkan kemarin sudah nge-tweet lagi. Kenapa ini tak membuat kita bersabar menunggu pengadilan? Betul ada tradisi, tahanan KPK tak mungkin lolos dari jerat hukum. Tapi tetaplah vonis hakim yang menentukan apakah tersangka itu korupsi atau tidak, bukan KPK.
Adakah yang menunggu bagaimana nasib Sutan Bhatoegana, yang rumahnya sudah digeledah KPK? Wow, sudah pasti banyak yang menunggu "masuknya barang itu". Orang jadi bergairah menunggu karena ada faktor lain: tokoh itu kontroversial. Orang yang berkoar-koar bersih tapi ternyata bermasalah, para penunggunya seperti berdoa agar orang itu betul-betul kotor.
Di atas segalanya itu (ini ucapan sakti Anas di gedung KPK), yang paling banyak ditunggu dan melibatkan dua ratus juta rakyat Indonesia adalah keputusan Mahkamah Konstitusi. MK akan menyidangkan uji materi yang diajukan Yusril Ihza Mahendra pada pekan ini, 21 Januari. Kalau gugatan Yusril diterima MK, maka pemilu legislatif dan pemilu presiden disatukan. Ada yang menyebut akan terjadi kisruh politik, karena jadwal KPU akan mundur semua. Mungkin itu berlebihan. Bukankah penyatuan pemilu itu hanya berarti mengundurkan pileg dari 9 April ke Juli, bersamaan dengan pilpres?
Sesederhana itu? Semestinya. KPU tinggal menjadwal ulang tahap-tahap pemilu, termasuk membuat tahapan kapan pasangan capres dan cawapres diajukan partai atau gabungan partai, sebagaimana diamanatkan konstitusi. Nah, urusan terakhir inilah yang ditentang partai besar, karena mereka sesungguhnya tak siap dengan capresnya. PDI Perjuangan, misalnya, masih dilematis akan mengusung Jokowi atau bukan. Kalau ya, akan jadi RI-1 atau RI-2? Pendampingnya itu, apakah dari partai lain atau "trah Sukarno"? Daripada dilematis, lebih baik menentang keras gugatan Yusril. Tapi sesungguhnya MK yang pegang palu, mau diketok ke arah mana.