TEMPO Interaktif,
Where the Wild Things Are
Sutradara : Spike Jonze
Skenario : Dave Eggers dan Spike Jonze
Berdasarkan buku karya Maurice Sendak
Pemain : Max Records, Catherine Keener, James Galdolfini, Forest Whitaker
Salju yang menyelimuti halaman rumahnya itu, dibayangkan sebagai medan pertempuran. Max yang bandel (Max Records) lantas saja membangun sebuah iglo, yang dibayangkan bsia sebagai pelindung dirinya jika dia dihajar bola salju. Nah, sasarannya adalah kawan-kawan Claire, kakak perempuannya yang sudah menanjak remaja dan menyebalkan itu. Max, si lelaki kecil usia 12 tahun itu kemudian melempar bola salju. Duar, duar,duar…kawan-kawan lelaki Claire lantas saja membalas. Perang bola salju!! Lantas Max perang bola salju. Seru! Hingga pada saat kawan-kawan Claire menghajar iglo buatannya hingga hancur lebur berantakan, Max kembali ke asall menjadi anak lelaki 12 tahun yang langsung menangis jika merasa putus asa. Anak bungsu dari seorang orangtua tunggal, Max merasa tidak diperhatikan. Dia mengoyak-ngoyak kamar kakaknya; bertingkah pada ibunya yang kedatangan pacar. Max kabur sejauh-jauhnya. Mengenakan baju serigala yang dibuat oleh ibunya, Max lari mengedarai perahu, ke sebuah pulau yang berisi sekumpulan raksasa. Di pulau itu, Max mengangkat diri sebagai Raja dan parea raksasa bersedia bermain bersamanya siang malam sesuai peraturan permainan yang dibuat Max. Alangkah senangnya. Alangkah
bahagianya hidup tanpa peraturan.
Memutuskan untuk mengangkat sebuahkarya klasik karya Maurice Sendak (1963) ini memang sebuah tantangan besar. Karya yang meledak dan menjadi pegangan para orang-tua dan guru ini—meski pada awal kelahirannya sempat dianggap terlalu liar untuk masanya—telah diadaptasi ke berbagai bentuk kesenian.: animasi (Gene Deitch, versi 1973 dan 1988); opera anak-anak dengan musik komposisi Oliver Knussen yang dipentaskan tahun 1980 dan 1984. Dan selanjutnya masyarakat Eropa dan Amerika lebih mengenal karya Sendak yang dianggap sebagai sebuah ‘terapi psikologs’ bagi anak manja yang mudah marah ini melalui pertunjukan panggung.
Bagi spike Jonze, mengangkatnya ke layar lebar di abad digital ini sebetulnya akan membuatnya mudah menciptakan dunia imajinasi Max. Tetapi dia sengaja mempertahankan visual asli sesuai buku Sendak (yang penuh gambar) di mana para monster itu sebetulnya adalah sebuah versi besar dari boneka-bonekanya. Maka tokoh Carol yang tukang ngambeg (James Gandolfini) , Ira (Forrest Whitaker) dan Douglas (Chris Cooper) yang lebih percaya diri dan bijaksana; Judith (Catherine O’Hara) dan Alexander (Paul Dano) yang tak percaya diri adalah raksana dengan betul tak keruan, namun empu dan enak dipeluk jika Max ingin tidur. Dunia alternatif Mac menjadi sebuah dunia konrradiktif, campur aduk keinginan anak-anak seuisanya berpetualang, bermain perang-perangan; tetapi juga dunia di mana pelukan dan sentuhan adalah kebutuhan absolut.
Para raksasa ini , yang kemudian oleh para pakar psikologi , ditafsirkan sebagai seluruh bagian dalam diri Max, ternyata bukan mahluk yang selalu memberikan kenyamanan dan ketentraman. Max, yang dianggap sang raja, tak hanya bisa bersenang –senang dan bermain-main. Dia juga dituntut sebuah pertanggungjawaban.
Istilah tanggung-jawab memang sebuah konsep asing bagi anak-anak menjelang remaja. Sandek , melalui bahasa dan gambar yang sederhana, seperti juga yang divisualkan oleh Jonze menjadis ebuah perjalanan ke dalam diri anak-anak yang harus belajar bahwa hidup bukan hanya tentang dirinya sendiri belaka. Jika di dalam buku, Max berlari pulang dan menemukan makan malam panas yang masih menantinya; di dalam film Jonze menampilkan adegan sang ibu yang memeluknya dengan erat dan menyediakan makan malam untuk sang anak yang kini mencoba memahami arti tanggung-jawab. Sebuah film yang sangat layak ditonton para orangtua.
Leila S.Chudori