TEMPO Interaktif, Jakarta-
JANE EYRE
Sutradara : Cary Joji Fukunaga
Skenario : Moira Buffini
Berdasarkan novel karya Charlotte Bronte
Pemain : Mia Wasikowska, Michael Fassbender, Judi Dench
Sekali lagi, Jane Eyre. Sudah ada 18 versi layar lebar yang mengangkat novel karya Charlote Bronte ini, sebuah novel yang di masanya dianggap sebagai karya yang dianggap berani menerobos konvensi abad ke-19. Di tahun 1847, Jane Eyre mengguncang dunia sastra karena mengisahkan seorang anak yatim piatu bernama Jane yang tumbuh sengsara di rumah yatim piatu yang menggunakan kekerasan. Di masa dewasa, Jane bekerja di puri Thornfield Hall yang dimiliki oleh bangsawan bernama Edward Rochester (Michael Fassbender), seorang lelaki berwajah masam dan berhati emas yang memelihara seorang anak perempuan yatim piatu. Adalah Jane Eyre yang dipercayakan sehari-hari mengasuh dan mendidik sang anak.
Tentu saja di masa pengasuhan itu, tumbuh rasa kasih sayang antara Jane Eyre dan sang bangsawan bermuka masam itu. Namun, di saat-saat berseminya cinta, ada sesuatu yang aneh. Di penghujung malam, Jane selalu terbangun oleh rintihan pilu seorang perempuan. Rochester memastikan itu hanya mimpi buruk belaka.
Selanjutnya, mereka yang sudah membaca novel ini atau menyaksikan satu atau dua versi dari film ini tentu saja sudah faham bahwa suara rintihan itu adalah misteri latar belakang Rochester; sebuah misteri yang menyebabkan perkawinan antara Rochester dan Jane Eyre gagal dan percintaan mereka menjadi hubungan terlarang.
Untuk ukuran masa kini, persoalan antara Rochester dan Jane Eyre terasa begitu ganjil. Menyembunyikan seseorang di lantai bawah karena sakit jiwa? Belum lagi alur cerita yang rajin mengucurkan azab kepada protagonisnya sungguh mengingatkan kita pada alur cerita sinetron stripping. Anak yatim piatu yang dihajar oleh bibiknya, dihajar lagi di rumah yatim piatu; terlibat hubungan cinta yang sulit, untuk kemudian akhirnya berbahagia setelah sang bangsawan sudah tua renta, sakit-sakitan dan kehilangan harta. Tetapi misi dan visi di zaman itu, era Victoria, adalah cinta harus bisa mengalahkan segalanya.
Mia Wakikowska yang kini tengah menjadi bintang di antara deretan aktris remaja Hollywood (Alice in Wonderland, The Kids are Alright, Restless ) adalah seorang pemain yang unik. Bukan hanya wajahnya yang tidak menampilkan kecantikan klise, melainkan seraut muka yang pucat, tetapi juga karena tubuhnya yang ringkih seolah memperlihatkan pergolakan dalam diam. Wakiskowska adalah tipe pemain yang tak harus banyak bergerak atau berteriak untuk menunjukkan sebuah guncangan.
Dengan Michael Fassbender (The Inglorious Basterds) yang bisa menampilkan kepedihan sekaligus erotisme --entah bagaimana kedua unsur-- itu bisa berpadu di dalam tubuhnya), maka percintaan pasangan yang berbeda usia itu tetap terasa magnetik.
Sutradara Cary Fukunaga mengirimkan kegelapan dan kepedihan melalui suasana dan warna. Sejak awal, pembukaan film—berbeda dari film versi-versi sebelumnya—malah dimulai dari adegan yang diambil dari klimaks cerita. Sebuah adegan ketika Jane Eyre terengah-engah berlari melalui lorong-lorong yang gelap. Adegan ini kemudian memancing keinginan tahu yang kemudian membawa kita pada sebuah masa lalu, masa kecil Jane saat dia diasuh oleh bibiknya yang keji.
Dan kisah Jane Eyre yang termasyhur itu pun bergulir....
Leila S.Chudori