TEMPO Interaktif, Jakarta -
GAME OF THRONES
Jane Espenson, George R. R. Martin. Berdasarkan novel volume pertama George R.R Martin A Song of Fire and Ice
Mereka yang gemar hiperbolisme menyatakan novelis George RR Martin adalah JR Tolkien dari Amerika. Tentu saja ini berlebihan, meski novel A Song of Fire and Ice (serta sekuelnya yang banyak itu) berhasil meledak dan terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia. Harus diakui, George RR Martin berhasil menciptakan sebuah dunia fantasi yang kira-kira mengambil setting sekitar abad tengah. Peta dunia direkonstruksi olehnya. Kemudian rekonstruksi ini divisualkan duo sutradara DB Weiss dan David Benioff yang memperlihatkan bahwa dunia terbagi atas tujuh kerajaan di benua Westeros. Ketujuh kerajaan ini diperebutkan oleh empat dinasti, di antaranya yang menonjol adalah Dinasti Stark dikepalai oleh Lord Eddard Stark (Sean Bean) yang dikenal jujur dan tak peduli dengan politik perebutan kekuasaan dan dinasti Lannister yang dikenal sebagai keluarga besar terkaya, culas dan serakah dan dinasti Targaryen yang tengah berkelana karena kekuasaan mereka direbut.
Seluruh dinasti dan kerajaan kecil dipimpin oleh Raja Robert Baratheon (Mark Addy), seorang raja tambun yang hanya gemar meniduri perempuan dan menutup kegelisahannya dengan membunuh. Sebelum menyaksikan serial ini, perlu saya tekankan, ini adalah serial yang betul-betul untuk orang dewasa. Bukan hanya karena adegan seks dan darah yang mengalir serta kekerasan yang bertubi-tubi, tetapi juga hubungan inses di abad medieval adalah sesuatu yang berlangsung dan dianggap untuk “memelihara kemurnian darah.” Itulah sebabnya, sang permaisuri, Ratu Cersei (Lena Headey) yang berselingkuh dengan abang kembarnya , Jaime Lannister (Nikolaj Coster-Waldau) adalah sesuatu yang menjadi persoalan di dunia Westeros bukan karena tindakan inses, tetapi karena anak-anak hasil perselingkuhan itu tak seharusnya berhak memegang tahta saat Raja Robert mangkat
Sejak awal serial kita sudah dijejali adegan bunuh-membunuh; pengkhianatan, penggal kepala dan perselingkuhan yang berlangsung begitu saja tanpa ragu, tanpa persoalan. Lord Ned Stark menjabat sebagai The King”s Hand --semacam kepercayaan atau Patih-- bagi Raja yang ogah memusingkan manajemen kerajaan. Dialah tiang moral dari kerajaan. Tanpa Lord Ned Stark, kerajaan itu akan runtuh seketika.
Dalam sekejap, siapapun yang belum pernah membaca novel ini segera saja jatuh hati pada tokoh Lord Ned Stark, sosok yang diperankan Sean Bean dengan teguh, tepat dan berwibawa. Ketika akhirnya Lord Ned Stark menyadari terjadi hubungan inses perselingkuhan antara Ratu Cersei dengan Jaime maka Ned menentang pengangkatan sang putra mahkota hasil perselingkuhan itu. Joffrey bukanlah putrra raja Robert, melainkan putra Jaime. Sebuah gerakan yang jujur, tetapi tidak politis.
Akhir dari musim tayang ini pasti akan menjengkelkan penonton yang sudah terlanjur bersimpati pada dinasti Stark yang mewakili kebajikan dalam serial ini. Tetapi yang justru berhasil mencuri perhatian adalah tokoh Tyrion Lannister (diperankan dengan gemilang oleh Peter Dinklage), salah satu putra Lannister yang bertubuh kerdil, yang sangat cerdas, bermulut tajam dan gemar meniduri pelacur. Peter Dinklage adalah satu dari puluhan aktor yang membuat layar televisi menjadi hidup karena seni peran yang meyakinkan.
Setelah Raja Robert mangkat, para dinasti berebut tahta. Generasi kedua dinasti inipun sudah sibuk terlibat politik internal.Joffrey (Jack Gleeson), putera Ratu Cersei dan Jaime Laninster yang masih remaja itu semula dijodohkan dengan putri tertua Lord Stark, Sansa (Sophie Turner). Begitu Joffrey diangkat menjadi Raja, dia langsung menjadi seorang penguasa yang lalim. Adik Sansa Stark , Arya (Maisie Williams) yang mahir memainkan pedang, akhirnya memutuskan menyamar menjadi anak lelaki agar dia tak segera dibunuh.
Untuk sebuah serial yang ditayangkan di HBO, produksi ini lebih mirip produksi sebuah film kolosal Hollywood. Bayangkan, untuk sebuah serial TV, pengambilan gambar dilakukan di Irlandia Utara dan Malta. Pemain utama produksi ini berjumlah ratusan; belum termasuk figuran untuk adegan perang. Pada episode pertama saja, penonton sudah diperkenalkan 20 tokoh baru. Betapapun banyaknya tokoh-tokoh yang berseliweran dalam serial ini, plot yang saling bertumpuk dan kisah yang saling sambung menyambung, pasti penonton setia akan tetap terbius oleh serial yang mengingatkan kita pada kekejian gaya serial The Soprano.
Yang membuat serial ini berbeda dengan film atau serial fantasi lainnya adalah karena tokoh-tokohnya tak selalu hitam-putih. Ada elemen ambigu dalam moralitas tokoh-tokohnya. Mereka yang baik juga sering membuat keputusan yang salah dan sebaliknya mereka yang jahat dan keji sesekali menunjukkan sisi yang bijak. Itu membuat Game of Thrones yang fantastis— yang melibatkan burung raven hitam sebagai pembawa berita atau naga sebagai simbol kekuatan—tetap terasa realistis.
Leila S.Chudori