TEMPO Interaktif, Jakarta-
MIDNIGHT IN PARIS
Sutradara : Woody Allen
Skenario : Woody Allen
Pemain : Owen Wilson, Rachel McAdams, Michael Sheen, Kathy Bates, Marion Cottilard, Adrien Brody
Ketika jam dengan rewel berteriak 12 kali di Paris, Gil Pender segera meloncat ke dalam sebuah mobil kuno yang berisi Ernest Hemingway (Corey Stoll) sastrawan besar gagah dengan mulut berbau alkohol. Sepanjang perjalanan, dengan mata penuh kagum, Gil akan mendengarkan Hemingway bercerita tentang kegagahannya berguling berlumur lumpur saat bertempur di medan perang.
Gil Pender (Owen Wilson), seorang penulis yang hidup di tahun 2010 malam itu begitu saja kecebur ke tahun 1920-an: berpesta dengan musisi Cole Potter yang flamboyan, berbincang tentang sastra dengan pasangan Francis (Tom Hiddleston) dan Zelda Fitzgerald (Alison Pill); meminta saran pada penyair Gerturde Stein (Kathy Bates) dan dengan takzim mendengarkan ceracau kacau Salvador Dali Adrien Brody).
Bagaimana Gil Pender bisa pulang balik dari tahun 2010 ke 1920, hanya Tuhan dan cahaya lampu Paris yang bisa menjawab. Peristiwa sinting itu semula mengguncangnya. Dia ingin membaginya dengan Inez (Rachel McAdams), tunangannya yang cantik, materialistis, anak orang kaya yang manja itu. Tetapi Inez lebih terpesona pada pseudo-intelektual semacam Paul (Martin Sheen) yang berkicau dengan sok tau tentang karya Henri Mattise atau Pablo Picasso dengan fakta-fakta yang mudah ditemukan di internet). Sejak awal, kita sudah tahu hubungan mereka akan terperosok ke jurang.
Gil, seperti juga para protagonis Woody Allen lainnya, adalah lelaki cerdas tapi polos, neurotik tapi menyenangkan, yang selalu saja didorong keinginan tahu besar tentang berbagai paradoks dalam hidup. Bertemu dengan para seniman besar tahun 1920-an -- sebuah era yang dia anggap sebagai masa keemasan bagi kesenian di Barat-- adalah sebuah mimpi yang terwujud. Di masa itu, manuskripnya dibaca dan dibahas oleh Gertrude Stein yang simpatik yang selalu saja membuka pintu rumahnya bagi seniman dunia yang tengah berkunjung ke Paris . Gil menjadi peraya diri bahwa dia adalahs eorang penulis yang baik, bukan hanya penulis skenario Hollywood . Gil merasa cocok dengan hidup Paris setelahjam 12, hidup bersama sosok dan jiwa tahun 1920. Para seniman yang boros gemar berpesta itupun tak ada yang keberatan dengan “sosok masa depan” yang menyelinap begitu saja di antara mereka dan berdansa dengan gerak-gerik yang aneh itu. Bagi mereka, Gil adalah lelaki kocak yang menyenangkan dan tentu saja berbakat.
Tetapi lekatnya Gil dengan kota cahaya itu bukan hanya karena Paris yang cantik telah menyuguhkan sosok masa lalu di hadapannya, tetapi karena Paris adalah sebuah lemari buku gigantik yang menyimpan seluruh jejak seniman dunia. Tak pernah ada yang klise tentang Paris , meski para sineas dan sastrawan telah berkali-kali bercinta dengannya dan membuahkan begitu banyak anak-pinak . Paris di mata Allen tetap sebuah kota yang selalu ingin kita rangkul.
Gil tak ingin pergi dari sana . Kakinya terpaku memandang danau seperti yang tergambar pada lukisan Henri Matisse. Dia juga terpaku di era itu karena ada Adriana (Marion Cotillard), salah satu kekasih (fiktif) Pablo Picasso yang mirip bidadari yang jatuh ke bumi.
Inilah film Woody Allen yang berhasil meringkus perhatian dunia, bukan saja karena menjadi pembuka Festival Film Cannes tahun ini, tetapi memang film ini sungguh asyik, ringan dan segar. Tentu saja para penggemar Allen akan merasakan beberapa pengulangan adegan seperti film Purple Rose of Cairo (1985) di mana seorang tokoh film meloncat keluar layar film dan bersatu dengan tokoh nyata. Para tokoh seni dalam film ini adalah campuran sanjungan dan parodi. Sastrawan Ernest Hemingway yang terlalu kagum pada dirinya dan pada ototnya itu sungguh kocak dan persis seperti yang kita bayangkan dalam benak kita. Demikian juga Fitzgerald yang aristokratik dan Cole Potter yang kenes.
Film Midnight in Paris adalah sebuah perayaan tentang kenikmataan mencipta dan hidup di dalam dunia rekaan itu. Dan jam berdentang 12 kali……Kita mencebur ke dunia Hemingway, Fitzgerald, Dali dan Picasso…
Leila S.Chudor