Sutradara : Adila Dimitri, Robert Ronny, Rinaldy Puspoyo, Robby Ertanto
Skenario : Adila Dimitri, Wulan Guritno, Robert Ronny, Rinaldy Puspoyo, Robby Ertanto
Pemain : Reza Rahadian, Roy Marten, Slamet Rahardjo, Ario Bayu, Wulan Guritno, Jajang C.Noer, Pevita Pearce, Tio Pakusadewo, Winky Wiryawan
Jakarta Punya Lima Kepingan Cerita. Kepingan itu seperti pecahan cermin retak yang berkisah tentang sepotong tragedi. Marilah kita saksikan kelima kisah itu dari empat sutradara.
Keping pertama adalah kisah seorang serse muda bernama Bayu Sustoyo (Ario Bayu), yang ditugaskan bersama seniornya, Bowo (Tio Pakusadewo) untuk berpatroli. Dalam beberapa menit, penonton diberi visual yang informatif bahwa Bowo sedang mengalami kesulitan finansial karena anaknya yang tengah tergeletak di rumah sakit.
Nun ujung Jakarta yang lain, ada kisah Big Boss SW alias Sonny Wibisono (Roy Marten) yang sudah sekarat di tempat tidurnya --yang berkilau-kilau itu-- tengah merancang sebuah masa depan bagi perusahaan dan keluarganya. Di hadapannya, seorang arsitektur muda Adrian (Reza Rahadian) yang menatap bos besar SW yang dikenal seluruh Jakarta sebagai konglomerat yang menjalankan bisnisnya bak preman.
Adrian tak tahu kenapa dia dipanggil oleh sosok terkenal ini. Selama ini,dia sudah cukup bahagia dengan sukses yang diraihnya sebagai anak yatim piatu yang berhasil dalam pendidikan dan karir. Apa pula yang diinginkan kakek tua kaya raya yang sudah sekarat ini?
Di ujung gelap Jakarta yang lain, kisah The Gambler menceritakan Sigit (Slamet Rahardjo) pecandu judi kronis yang mencoba peruntungannya yang terakhir demi seuntai jam tangan yang penuh kenangan. Drama permainan judi melawan bebuyutannya Gilang Hadiningrat (Ray Sahetapy) menjadi primadona segmen ini. Tetapi sesungguhnya kisah akhir dari permainan judi itulah yang menjadi bagian menarik, karena adanya serbuan polisi yang dipimpin duo Bowo dan Ario.
Syahdan seorang gadis Jakarta yang cantik bernama Dian (Pevita Pearce) celentang berjemur di bawah matahari Bali. Seorang perempuan berambut pendek, berkemeja gombrong bernama Rima (Wulan Guritno)menghampirinya dan menawarkan kelezatan dunia. Sebuah kelezatan yang mungkin membuat Dian lupa akan kesusahan hidupnya dengan Ayah sinting dan ibu yang sudah wafat.
Seluruh kisah meski berdiri sendiri, pada akhirnya terkait oleh salah satu atau dua tokoh. Semua cerita terurai. Semua memiliki tujuan dan akhir. Seluruh cerita yang disajikan adalah kisah yang kita kenal. Tentang pengusaha yang menjalankan usahanya dengan gaya preman; tentang puteri pengusaha yang kurang perhatian sang bapak dan lari ke narkoba; tentang kelompok ormas yang ekstrim menghajar kelompok lain; dan juga penyerbuan perjudian gelap yang kemudian melibatkan dua polisi yang memiliki mentalitas berlawanan.
Problemnya adalah: apalah penyajian kisah-kisah ini meyakinkan kita? Apakah kita percaya dua serse itu memang serse dari Jakarta, bukan detektif NYPD karena gaya dan dialog mereka,apalagi badge polisi yang digelantung itu)? Apakah kita percaya dialog antara pengusaha alias bos preman dengan Adrian sang arsitektur tentang sebuah masa lalu itu berlangsung seperti itu?
Apakah pertemuan serse Ario dengan lelaki yang paling dikenalnya seumur hidupnya di ruang polisi itu bisa berakhir dengan hal yang demikian tak terbayangkan pada saat perangkat hukum Indonesia dianggap runtuh. Dan yang paling sulit dipercaya adalah bagaimana obrolan pengeboman di antara anggota ormas terjadi begitu saja, dengan enteng. Tanpa kode, tanpa bahasa rahasia di antara mereka.
Kelima kisah yang disajikan adalah kisah di balik Jakarta yang gemerlap. Bukan hanya pengetahuan film belaka, tetapi sineas perlu melakukan riset dan pelajaran yang serius bagaimana dunia yang mereka gambarkan itu bisa terbangun. Bagaimana para detektif berbicara; bagaimana mereka mengalamatkan sebuah kasus (mereka biasanya menggunakan angka atau pasal, misalnya); bagaimana bahasa para penjudi yang sudah candu; bagaimana pula bahasa konglomerat/preman sekelas Sonny Wibisono bergerak (meski dalam film dia cuma tiduran , karena dia sekarat).
Bagaimana bahasa para penganut garis keras, saat mereka merancang pengeboman, saat mereka berbincang antar satu dan lain juga memiliki bahasa tersendiri. Begitu banyak hal yang terasa ganjil dan tidak pas dalam setiap segmen sehingga kisah yang sebetulnya menarik ini tak meyakinkan penonton.
Tentu saja ada hal-hal yang tetap menyegarkan. Penampilan Wulan Guritno sebagai Rima, dealer narkoba sungguh berbeda dari film-film sebelumnya. Kali ini dia terlihat seperti bunglon yang tengah meresap ke dalam perannya. Ray Sahetapy tak akan mengecewakan penonton. Dia adalah aktor dekade ini.
Setelah penampilannya dalam film The Raid dan Dilema, sebaiknya para sineas mencari alasan untuk membuat tokoh yang diperankan Ray sebagai peran utama. Kenes Andari juga sebutir berlian yang perlu diasah. Diantara wara-wiri begitu banyak nama besar, ternyata Kenes justru tampil dengan dengan proporsional. Tak lebih, tak kurang.
Dengan trend film-film “inspirasional” sejak meledaknya film Laskar Pelangi (Riri Riza), sebetulnya film bertema drama thriller seperti ini ingin kami peluk seerat-eratnya. Jarang sekali produser dan sutradara yang berani memilik genre ini, kecuali jika mereka cukup ‘nekad’ (karena menuntut banyak riset dan ketelitian agar terasa realistik) dan bosan dengan menu bioskop yang ada.
Tetapi, sekali lagi, memilih genre ini memang membutuhkan kesabaran dalam penggarapan. Hollywood dan segala auranya memang akan selalu menghantui kreativitas kita, dan itu sangat wajar. Yang penting, seberapapun pengaruhnya, penampilan dan narasi cerita film itu harus bisa membuat penonton percaya dan merasa terwakili. Itu memang tugas sineas yang paling sulit.
Leila S.Chudori