TEMPO.CO, Jakarta - N
Sebuah serial yang menampilkan nostalgia, kemewahan dan gaya hidup di angkasa pada tahun 1960-an. Sama sekali tak sebanding dengan serial Mad Men.
Pada 1963, langit dikuasai oleh burung besi bernama Pan Am. Pesawat biru itu bukan saja mampu meringkas peta dunia yang sedemikian luas menjadi begitu kecil--agar segala tujuan mudah terjangkau--tetapi itulah masa-masa di mana penerbangan adalah janji kehidupan mewah: di atas langit sana tersedia cocktail dan anggur gratis, keju, kaviar dan segala makanan mewah yang masih disajikan di atas piring porselen dan teh atau kopi yang dituang ke dalam cangkir keramik dan sendok perak. Di masa-masa itu, penerbangan identik dengan pengalaman mewah. Gaya hidup retro yang eksotik itulah yang ingin disajikan para kreator serial Pan Am.
Para kreator Pan Am , seperti juga kreator serial Playboy Club yang sudah dihentikan setelah hanya beberapa episode, melihat kekosongan (dan kesempatan) yang terbuka karena serial terkemuka Mad Men (Matthew Weiner) membutuhkan tujuh bulan persiapan untuk musim tayang lima. Mad Men, yang empat tahun berturut-turut menjadi bintang bersinar bagi pemirsa TV dunia, adalah sebuah terobosan baru tentang perusahaan iklan yang mengambil setting New York tahun 1960-an. Berhasilnya Mad Men meraup penonton setia bukan sekedar karena serial ini menyajikan cerita drama intrik, politik internal di dunia iklan, tetapi juga bagaimana para penulis skenario dan kreator Matthew Weiner mampu meramu drama rumah-tangga, perselingkungan, kerumitan menggaet klien di dunia iklan dengan persoalan sosial di saat posisi perempuan dan gay yang masih marjinal. Pada setiap episode, Weiner tak pernah melupakan memberi sentuhan situasi politik di masa itu: pemilu Presiden, kemenangan Kennedy meraih kursi Presiden, peristiwa Bay of Pigs hingga tewasnya Presiden Kennedy.
Serial Pan Am memindahkan drama agen iklan Sterling Cooper Draper Pryce dari Manhattan ke atas pesawat Pan Am. Jika fokus serial Mad Men adalah para copy-writer periklanan yang didominasi lelaki, maka Pan Am lebih berkisah pada sekelompok awak kabin perempuan (yang saat itu masih disebut stewardess) : Maggie Ryan (Christina Ricci), lincah, dan bersedia melakukan apa saja-bahkan dengan cara yang melanggar peraturan—agar bisa maju dan bersaing dengan lelaki; Kate Cameron (Kelly Garner), perempuan cerdas yang mandiri dan ingin mencoba apa saja yang baru termasuk menjadi kaki-tangan CIA (Central Intelligence Agency) karena tugasnya bepergian ke berbagai negara memudahkan pertukaran informasi atau barang untuk intel yang ditempatkan di Eropa dan Asia. Adiknya, Laura Cameron (Margot Robbie) yang cantik dan manja baru saja kabur dari pernikahannya dan memutuskan bergabung dengan Pan Am untuk bekerja seperti kakaknya. Ada lagi awak kabin cantik bernama Collete Valois (Karine Vanasse), seorang perempuan dengan masa lalu tragis. Ia lahir di Prancis dan seluruh orang-tuanya tewas saat Jerman menduduki Prancis. Tetapi, Amerika menjadi tanah harapan bagi Collete.
Para awak pesawat, dari pilot dan co-pilot hingga seluruh awak kabin mempunyai segmen yang mengisahkan problem masing-masing: cinta segitiga antara pilot Dean Lowry (Mike Vogel) dengan Bridget Pierce (Annabelle Wallis), seorang awak kabin yang juga bekerja sebagai kurir CIA dan terpaksa menghilang karena kesalahan prosedural yang dilakukannya. Belakangan Lowry berpasangan dengan Collete Valois. Dan situasi jadi rumit ketika Bridget Pierce mendadak muncul kembali dan bekerja di Pan Am seperti sediakala. Belum lagi kisah perselingkuhan, dominasi orangtua pada anak, patriarkisme dan seterusnya. Tetapi yang membedakan serial ini dengan Mad Men yang serius dan character-driven (karakterisasi tokoh yang mengemudikan jalan cerita), maka plot serial Pan Am lebih seperti opera sabun, berkilau-kilau, berbau nostalgia dan mengutamakan eksotisme setiap ‘negara’ yang dikunjungi si burung besi. (adapun tanda kutip itu untuk menunjukkan bahwa lokasi syuting kelihatan betul di studio).
Contohnya, ada satu episode di mana para awak terbang ke Jakarta, Indonesia. Yang disebut ‘Jakarta’ pada tahun 1960-an bagi kreator serial ini adalah hotel eksotik yang memiliki interior seperti hotel di Bali masa kini. Oh, dan jangan lupa, di kamar mandi hotel, entah bagaimana, ada seekor ular yang membuat Maggie Ryan menjerit-jerit ketakutan. Para figuran ‘Indonesia” dalam serial ini jelas diperankan orang Filipina, karena mereka berbicara bahasa Inggris yang fasih dengan aksen Filipina. Pasar tradisional yang dikunjungi Maggie dan Laura di ‘Jakarta’ terlalu sudah pasti sebuah studio di Hollywood yang lantainya licin mengkilat dengan tukang sayur yang ditanamkan dengan teratur. Entah mengapa, Hollywood yang banyak duit itu selalu saja ‘malas’ membuat riset yang lebih akurat dan mendalam setiap kali mereka menggunakan Indonesia sebagai setting. (termasuk serial West Wing yang pernah menampilkan ‘Presiden Indonesia’ dan juga film The Year of Living Dangerously arahan Peter Weir).
Tetapi, tentu saja ada beberapa hal yang membuat kita tetap betah menyaksikan serial ini. Apalagi kalau bukan soal espionase, karena Hollywood memang lumayan jagoan dalam mengeksekusi plot intelijen. Ada beberapa ketegangan saat Kate, yang bertugas menjadi kurir CIA di Jerman. Karena Kate bukan seorang agen yang terlatih, maka Kate tak bisa terlepas dari rasa iba kepada kurir dari Jerman yang nampaknya bakal dibunuh jika dia tak menyelamatkannya. Ada juga bau-bau heroik Amerika yang mencoba menyelamatkan seseorang dari Havana,Kuba dan menyelipkannya ke atas pesawat menuju Amrika. Serangkaian episode yang belakangan melibatkan perubahan sosial politik secara global ini akhirnya menjadikan serial ini semakin menarik, meski mereka masih kurang berhasil menggali karakter tokoh-tokohnya.
Serial ini masih sangat jauh dari keberhasilan Mad Men. Dan para epigon (Hollywood atau Indonesia) harus faham: mengekor ide orang lain jarang membuahkan sukses.
Leila S.Chudori