TEMPO.CO, Jakarta-
Di dalam sejarah Amerika, ada satu nama magnetik yang akan selalu menjadi kontroversi: J.E.Hoover. Dia adalah sosok yang dihormati, ditakuti, dibenci sekaligus dibicarakan habis-habisan selama hidupnya dan hingga kini sesudah kematiannya.
Nama ini pula yang sudah puluhan kali muncul di berbagai film dan pertunjukan teater Hollywood karena dia sudah melalui masa kepemimpinan delapan Presiden Amerika Serikat, seorang Martin Luther King dan seorang Marilyn Monroe.
Tak mengherankan jika sutradara Clint Eastwood ikut tergiur untuk mengangkat kehidupan J.E Hoover ke layar lebar seperti para sutradara lain yang sempat menampilkan tokoh ini, antara lain, di dalam film TV J.Edgar Hoover (1987), film Chaplin (Kevin Dunn, 1992), Nixon (Oliver Stone, 1995); film Public Enemy (Michael Mann, 2009), serial TV The Kennedys (2011), film Public Enemy (Michael Mann, 2009).
Eastwood memulai film ini saat Edgar sudah tua-renta. Dia menceritakan kisah hidupnya kepada penulis biografinya, agen Smith (Ed Westwick) , seorang agen yang tampan, patuh meski masih melemparkan beberapa pertanyaan.
Di balik dandanan prostetik yang nampak seperti karet yang berlapis-lapis-- hingga aktor Leonardo lebih mirip seorang ayah yang sedang mengenakan topeng Halloween-kita menyaksikan seorang lelaki tua misterius yang membuka masa lalunya dengan rasa bangga.
Di tahun 1919, ketika Edgar muda masih menjadi staff junior Kejaksaan Agung AS, ia mengisahkan bagaimana Jaksa Agung A.Mitchell Palmer dan beberapa tokoh AS lainnya menjadi target peledakan delapan buah bom. Edgar muda bersepeda menuju TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan menyaksikan bagaimana polisi di masa itu hanya mengumpulkan tanda bukti dengan menggunakan puluhan ember dan senjata yang ditemukan tak diambil sidik jarinya. "Ini bukan karena kesembronoan. Itulah prosedur yang lazim di masanya," suara Edgar tua mencoba membentangkan sebuah potret tua. Dan peristiwa itulah yang membuka matanya.Menurut dia, penyidikan dan investigasi harus didukung ilmu forensik berdasarkan ilmu pengetahuan alam: kimia, fisika, biologi.
Orientasi seksual Edgar selama hidupnya selalu menjadi tanda-tanya dan bahan gosip seantero Amerika. Setelah diangkat menjadi Direktur FBI, Edgar menjalani tugasnya dengan serius. Bukan hanya menyerbu dan menangkapi begitu banyak orang yang dianggap radikal. Dia juga menciptakan sistem pendataan (filing system) siapa saja yang dianggapnya 'musuh" atau 'penting', termasuk Presiden yang sering mengorek-ngorek wewenangnya. Gaya kepemimpinan yang otoriter dan obsesif itu diwarnai dengan keputusannya yang aneh-misalnya dia pernah memecat salah satu agen FBI hanya karena memelihara kumis atau lupa menyebut kata "sir"-dan juga gaya hidupnya. Meski Edgar mencoba memperlihatkan sikap yang baik kepada perempuan, tetapi jelas dia selalu senang dikelilingi lelaki muda tampan di kantornya. Pertemuannya dengan Clyde Toulson (Armie Hammer) yang ganteng jelas memperlihatkan Edgar yang mendadak meliuk-liuk tertunduk malu dan berpretensi mengatakan "sejak tadi saya mengagumi jas Anda..." Duilah.
Tak kurang pula gaya Edgar saat mencoba menyembunyikan kegairahannya saat merekrut Clyde Toulson. Edgar melakukan push-up dan seperti anak remaja, dia sok acuh tak acuh di hadapan Toulson yang cerdas tapi mengaku terus-terang "tak terlalu tertarik dengan pekerjaan fisik di lapangan" karena FBI baginya hanya jalan menuju cita-cita berikutnya: menjadi pengacara.Sejarah mencatat, Toulson akhirnya seperti bayang-bayang Edgar yang setia mendampinginya dalam susah dan senang, di ruang direktur FBI maupun menghabiskan akhir pekan bersama. "Saya membutuhkan kamu," kata Edgar dengan kaku dan gugup, katanya di sebuah malam, ketika mereka berakhir pekan bersama. "Saya mencintai kamu," demikian balas Toulson.
Adegan berikutnya adalah salah satu adegan intens yang tak terlupakan dalam film ini. Edgar menyatakan akan menikahi Dorothy Lamour, kamera menyorot dengan 'kejam' betapa terlukanya Toulson, terlebih lagi ketika dia mendengar selama ini Edgar sudah berhubungan intim dengan Lamour. Perkelahian fisik antar keduanya yang berakhir dengan kecupan panjang itu adalah adegan interpretatif Clint Eastwood dan penulis skenario Dustin Lance Black (penulis skenario film Milk) tentang hubungan kedua lelaki yang selama ini mengaku bersahabat dekat dan "saling peduli dan mengasihi".
"Saling peduli" bagi Toulson bukan hanya sekedar berdua-duaan dengan lelaki yang dicintainya-karena Toulson tak punya problem untuk mengaku sebagai gay-tetapi juga dia adalah tonggak moral Edgar yang senantiasa mengingatkan saat Edgar yang sudah melampaui batas etika. Ketika Edgar mengirim surat ancaman kepada Martin Luther King -untuk mengundurkan diri dari pencalonan Penghargaan Nobel-Toulson menyatakan Edgar sudah melalui batas.Dia juga mengeritik Edgar yang-meski sangat berjasa dalam membangun sains dalam forensik-melebih-lebihkan beberapa perannya di dalam buku biografinya.
Terlepas gaya dan karakter Edgar itu, tak akan ada yang menyangkal jasa Edgar dalam memperjuangkan pentingnya sidik jari dalam investigasi kriminal. Berkali-kali dia mengajukan proposal untuk membangun laboratorium, selalu ditolak. Dibutuhkan sebuah tragedi penculikan bayi penerbang terkenal Charles Lindberg bagi pemerintah Amerika untuk mengukuhkan peraturan bahwa kasus penculikan dinyatakan sebagai kasus federal dan menyetujui dana oeprasional untuk laboratorium sains forensik (dan serial CSI dan puluhan drama polisi dan detektif yang mengandalkan kerja forensik seharusnya berterimakasih kepada J.Edgar Hoover).
Leonardo DiCaprio sangat serius meniupkan ruh ke dalam tubuh Edgar. Kemarahan yang menggelegak, obsesi yang tak berkesudahan dan kemesraan yang tersembunyi rapat dan ketergantungan yang tak lazim pada sang ibu. Hanya tata rias semua pemain-Edgar, Toulson dan Helen Gandy-di masa tua tampak buruk . Penata rias film ini layak berguru pada penata rias film The Iron Lady (Phillida Lloyd 2011). Ada semacam sikap ambivalen untuk memperlihatkan Edgar Hoover, satu-satunya sosok yang bisa melampaui masa pemerintahan delapan orang Presiden itu: dia jenius yang otoriter dan membuyarkan konsep "kebebasan berekspresi" dan "privasi", tetapi dia sendiri begitu rapat menutup kehidupan pribadinya hingga para sineas sibuk membuat interpretasi yang penuh keraguan dan ambivalensi. Eastwood ingin menampilkan Edgar dengan sikap obyektif, tetapi dia tetap terlihat sungkan saat memasuki daerah pribadi protagonisnya.