TEMPO.CO, Jakarta-
KITA VS KORUPSI
Sutradara : Emil Heradi (Rumah Perkara), Lasya F.Susatyo (Aku Padamu), Ine Febriyanti (Selamat Siang, Risa) , Chairun Nisa (Pssst … Jangan Bilang Siapa-siapa).
Skenario : Mohamad Ardiansyah, Damas Cendika (Rumah Perkara), Sinar ayu Massie (Aku Padamu), Ine Febriyanto, Gunawan Rahardja (Selamat Siang,Risa) dan Jazzy Mariska (Psst...Jangan Bilang Siapa-siapa)
Pemain : Teuku Rifnu Wikana, Dominique Diyose, Tora Sudiro, Ringgo Agus Rahman, Nicholas Saputra, Revaline S.Temat
Produksi : Transparency International Indonesia (TII), United State Agency International Development (USAID)
Ada satu tumpuk. Dua tumpuk. Tiga tumpuk uang seratus ribuan yang di sodorkan perlahan ke atas meja. Arwoko (Tora Sudiro) terdiam. Koh Abeng (Verdi Sulaiman) menyodorkan tiga tumpuk duit itu ke arah Arwoko, seolah Arwoko sungkan untuk mengambilnya. Di balik kamar, Inge (Domique Arwoko), sang isteri berlinang airmata karena bayi mereka yang tengah sakit membutuhkan biaya obat.
Sangat mudah untuk tergoda dengan tumpukan duit itu. Apalagi, Koh Abeng ‘hanya’ butuh gudang-gudang kosong di bawah pengawasan Arwoko untuk meletakkan dagangannya. Arwoko masih terdiam. Wajahnya menyimpan emosi. Ada beberapa detik yang menentukan apakah Arwoko akan menyerah karena situasi yang sulit; atau dia akan berpegang pada kebersihan dengan risiko penyakit anaknya yang semakin parah.
Ini adalah segmen ketiga berjudul “Selamat Siang, Risa” karya Ine Febriyanti dari film “Kita vs Korupsi”, sebuah film omnibus yang terdiri dari empat buah cerita dari empat sutradara. Selamat Siang Risa, seperti juga ketiga cerita lainnya sebetulnya sebuah film penyuluhan, sebuah upaya untuk mengajak masyarakat berpikir dan berdiskusi untuk melihat bagaimana korupsi dimulai dari sesuatu yang ‘sederhana’ kemudian bisa berkembang menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi darah daging.
Baca Juga:
Segmen keempat film ini berjudul Chairun Nisa “Pssst … Jangan Bilang Siapa Siapa” karya Chairun Nisa memperlihatkan bagaimana virus korupsi bisa menjalar dengan mudah dan cepat sejak dini. Dengan teknik pengambilan gambar video-cam dari mata seorang murid SMA yang sedang membuat film dokumenter, kita melihat anak-anak SMA masa kini yang dengan enteng menilep duit di sana-sini. Satu murid ditugaskan gurunya untuk menjual buku pelajaran dengan harga yang lebih mahal daripada harga buku di toko. Keuntungannya akan dikantongi sang guru dan sang murid. Korupsi ini terus berantai dari satu orang ke orang lain,dimulai dari usia dini hingga dewasa dan berlangsung dari lini terbawah hingga atas, vertikal dan horizontal. Segmen cerita yang ditulis Jazzy Mariska ini adalah salah satu bagian yang mengerikan, karena terlihat bahwa bibit korupsi begitu mudah ditanamkan dengan anggapan bahwa tindakan itu ‘normal’ dan sama sekali tidak melanggar hukum.
Jika korupsi sudah sedemikian melekatnya; sebegitu dininya pada tubuh orang Indonesia, maka korupsi bukan lagi sekedar daki yang mudah digosok atau bisul yang bisa dioles salep untuk sembuh. Korupsi, seperti yang tergambar dalam segmen Rumah Perkara arahan Emil Heradi dan Aku Padamu oleh Lasya F.Susatyo pada akhirnya seperti virus yang sukar keluar dari darah orang Indonesia. Di dalam kedua segmen ini, soal korupsi sudah menjadi bagian paling dalam dari cerita. “Rumah Perkara” adalah cerita soal seorang warga yang tetap saja bertahan untuk tidak menjual tanahnya. Sedangkan Aku Padamu semula memberikan kesan hidup yang merah jambu seperti sirup stroberi. Sepasang anak muda yang dilanda cinta kabur dari rumah untuk kawin. Tiba di KUA, muncul soal pernak-pernik kelengkapan dokumentasi:kartu-keluarga. Seorang calo muncul dan menjanjikan bisa mengurus tanpa kelengkapan Kartu Keluarga. Dengan fasihnya sang calo mengutip berbagai ayat bahwa sebaiknya mereka segera menikah dan tak baik jika terjadi perzinahan. Pasangan kita itu (diperankan oleh Nicholas Saputra dan Revalina S.Temat) yang semula nampak berbahagia jadi tertegun. Mau cepat, kilat dan beres atau mau menunda pernikahan dan berurusan dengan orangtua, pemegang Kartu Keluarga? Terjadi ketegangan. Dan muncul sebuah kilas balik tentang seorang guru (diperankan Ringgo Agus Rahman) yang bertahan tidak tergelincir untuk korupsi.
Seluruh empat cerita nampak sengaja tidak memilih kasus mega korupsi yang tengah menjadi pandemik di Indonesia. Selain karena jatah setiap segmen yang diberikan setiar 15 sampai 16 menit, justru kasus korupsi dan gratifikasi ‘kecil-kecilan’ inilah yang akan mengguncang nurani. Karena kita terlalu terbiasa menyaksikan amplop untuk polisi lintas (di masa lalu disebut prit-jigo), uang’ rokok’ untuk si A, uang ‘lelah’ untuk si B, virus itu sungguh mudah menyelinap menjadi bagian dari tubuh.
Lebih menarik lagi, keempat segmen yang menjadi satu kesatuan ini sebetulnya film yang jauh lebih menarik dan pembuatannya (dari kerja kamera, seni peran hingga keutuhan skenario) jauh lebih serius dengan film-film yang ditayangkan di bioskop komersil. Meski film ini ditujukan untuk pendidikan bagi sekolah-sekolah, guru-guru, para birokrat dan pegawai negeri, sebaiknya masyarakat umum diberikan kesempatan untuk menyaksikan film ini. Bukan hanya untuk sebuah penyadaran, bukan pula untuk khotbah, tetapi karena sebagai sebuah film, ia juga berhasil menghibur.
Leila S.Chudori