TEMPO.CO, Jakarta-
MOZART’S SISTER
Sutradara : René Féret
Skenario : René Féret
Pemain : Marie Féret (Nannerl Mozart), Marc Barbé (Leopold Mozart), Delphine Chuillot (Anna-Maria Mozart), David Moreau (Wolfgang Mozart), Clovis Fouin (Le Dauphin), Lisa Féret (Louise de France).
Kali ini, Wolfgang Amadeus Mozart bukanlah pusat perhatian. Si jenius pianis dan komposer kelahiran Salzburg, Austria itu adalah peran pendukung dalam film Mozart’s Sister arahan sutradara Prancis René Féret. Berpuluh film, lakon dan opera selalu memusatkan kisah pada biografi Mozart yang sejak usia tiga tahun sudah menggegerkan Austria dan Eropa dengan kepandaiannya menguasai piano dan menciptakan komposisi . Itu semua dilakukan hanya karena Mozart rajin menyaksikan ayahnya, Leopold mendidik kakak perempuannya, Maria Anna yang biasa dipanggil Nannerl.
Film ini menyorot bagaimana bagaimana orangtua Mozart pasangan Leopold (Marc Barbé) dan Anna Maria (Delphine Chuillot) mengantar anak-anaknya mengadakan konser dari satu tempat ke tempat lainnya, termasuk ke istana raja. Tetapi perhatian Leopold tentu saja jauh lebih difokuskan kepada Wolfgang (David Moreau), putera bungsunya yang sedang menjadi bintang yang bersinar meski sesungguhnya Nannerlpun (Marie Féret) sangat berbakat.
Setiap langkah, setiap rencana konser, Nannerl selalu mencoba meyakinkan Ayahnya untuk diizinkan belajar kelas komposisi bersama adiknya. Tetapi Ayahnya senantiasa menolak dan bahkan melarang Nannerl untuk memainkan biola yang dianggap “bukan alat musik untuk perempuan.”
Persoalan hubungan gender dan alat musik tak diutarakan melalui sebuah khotbah, melainkan melalui rangkaian adegan dalam plot. Melalui riset buku sejarah dan surat-surat Leopold, sutradara Féret membuat sebuah kisah spekulatif tentang keluarga yang melahirkan anak-anak jenius ini. Féret tetap memperlihatkan, meski Leopold adalah ayah yang keras dan tegas, keluarga itu tetap memiliki cinta, kerukunan dan kasih-sayang sesama anggota keluarga. Tetapi pilih kasih dan favoritisme tetap mewarnai sikap Leopold dalam soal musik. Diwarnai patriarkisme di zamannya, tentu saja hanya Wolfgang yang dianggap pantas menjadi perwakilan musik keluarga dan bahkan bebunyian di Austria.
Karena itu, ketika putera Raja, Dauphin (Clovis Fouin) ingin berkawan dengan Nannerl, sang gadis harus menyamar menjadi lelaki agar mereka bisa bebas bercengkerama. Di hadapan Dauphin, Nannerl tak hanya menyanyi, tetapi dia menunjukkan bakatnya sebagai musisi yang mampu menciptakan komposisi; yang tak kalah dengan adiknya.
Di dalam film ini, kita merasakan protes sutradara Féret—seperti juga protes Virginia Woolf tentang dunia sastra—bahwa di masanya kita tak mengenal Mozart versi perempuan bukan karena perempuan di abad itu tak ada yang berbakat dalam dunia seni; melainkan karena dunia tak menyediakan ruang dan panggung seni bagi perempuan. Ada semacam penyesalan seandainya orangtua Mozart bisa melihat sang kakak seperti halnya dia memupuk Mozart, pastilah Austria dan dunia akan jauh lebih kaya oleh komponis luar biasa.
Féret memang tidak membuat sebuah konklusi apakah Nannerl akhirnya seorang jenius yang akhirnya terpaksa menjalani kehidupannya sebagai isteri yang pasrah akan nasibnya atau apakah dia menjadi seorang pahlawan bisu yang perlawanannya harus ditampilkan melalui sebuah biopik spekulatif . Tetapi sejarah memang telah menuliskan di masa awal karir Mozart,dia selalu didampingi kakaknya untuk mengadakan konser kecil di hadapan pemirsa. Dan untuk mendampingi Mozart yang jenius, tentu saja pendamping itu juga harus memiliki bakat dan ketrampilan yang, kurang lebih, mirip dengan Mozart. “Aku tak ingin hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah,” demikian kata Nannerl. Tetapi apa boleh buat, ternyata dalam sejarah, Nannerl selalu menjadi bagian dari biografi adiknya.
Leila S.Chudori