TEMPO.CO, Jakarta-
360
Sutradara : Fernando Meirelles
Skenario : Peter Morgan
Pemain : Jude Law, Anthony Hopkins, Rachel Weisz, Ben Foster,
Dengan dua nama besar dari sutradara Fernando Meirelles (The City of God, Constant Gardener) dan penulis skenario Peter Morgan (The Queen, dan pemain-pemain seperti Anthony Hopkins, Jude Law dan Rachel Weisz, film 360 seperti sebuah janji besar dengan keinginan besar.
Film 360 adalah sebuah omnibus, sebuah bentuk penyajian film layar lebar yang terdiri dari beberapa film pendek. Terkadang mereka terkait karena tokoh dalam film antar satu segmen ke segmen lain seperti Four Rooms (Allison Anders, Alexandre Rockwell, 1995) dan Babel (Alejandro Gonzáles Inñáritu, 2006); atau bisa juga terkait oleh tema Night on Earth (Jim Jarmushc,1991), New York Stories (Woody Allen, Francis Ford Coppola, Martin Scorsese) Paris Je t’aime yang mengambil tema hubungan sebuah kota dan warganya. Kadang-kadang seluruh segmen disutradarai satu sutradara atau sering juga beberapa segmen itu dikerjakan keroyokan seperti film Five yang bertema kanker payudara yang disutradarai antara lain oleh Jennifer Aniston, Demi Moore, Alicia Keys.
Film Indonesia juga sudah mulai memasuki era film omnibus dimulai dari Kuldesak (Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T Achnas, Rizal Manthovani, 1998), yang kemudian disusul Berbagi Suami (Nia Di Nata). Beberapa tahun terakhir, omnibus tengah menjadi piliha populer para sineas, seperti Belkibolang (disutradarai sembilan sutradara antara lain Edwin, Anggun Priambodo, Ia Isfansyah 2010), Jakarta Magrib (Salman Aristo, 2010), Sanubari Jakarta (antara lain Lola Amaria, 2012), Parts of the Heart (Paul Agusta, 2012), Jakarta Hati (Salman Aristo,kini sedang beredar) dan yang akan beredar adalah Rectoverso (antara lain Marcella Zalianty, Happy Salma, Rachel Maryam).
Film 360 mengambil format yang searah dengan Babel: satu sutradara dengan nama yang menjanjikan dan penulis skenario yang sedang melejit (yang sekarang juga masuk dalam tim penulis skenario film James Bond terbaru Skyfall). Jika sebuah senapan menjadi persoalan bagi tokoh-tokoh di Jepang, Amerika, Meksiko dan Afganistan dalam film Babel, maka film 360 menghubungkan tokoh-tokohnya melintasi kota Vienna, Paris, London, Colorado hingga kembali lagi ke Paris. Dibuka dengan adegan Mirka (Lucia Siposova) yang tengah dipotret telanjang oleh Rocco (germonya Johannes Krisch) untuk dipajang pada situsnya . Mirka diantar adiknya Anna (Gabriela Marcinkova) yang tidak setuju pada cara kakaknya mencari nafkah toh menemaninya. Hanya dalam sekejap, Mirka dipesan oleh seorang pengusaha Inggris yang akan mengadakan perjalanan ke Vienna. Mirka, yang nama barunya adalah Bianca, ditemani Anna ke Vienna untuk menemui Michael Daly (Jude Law).
Di Vienna, Mirka yang namanya sudah berubah menjad Bianca, ditemani adiknya Anna untuk menemui pengusaha muda Daly. Sementara Anna menanti kakaknya bergulat dengan pelanggannya, Anna menanti sembari membaca. Namun Mirka alias Bianca tak berhasil menemui Daly, karena sang pengusaha yang cemas itu dicegat lawan bisnisnya yang mengetahui rencana perselingkuhan Daly. Pemerasan terjadi. Daly membatalkan pemesanan itu. Malam itu dia akhiri dengan menelepon meninggalkan pesan berisi kalimat cinta ke ponsel isterinya, Rose (Rachel Weisz) London.
Nun di jalan-jalan London yang basah, Rose terburu-buru berjalan tanpa menyadari dia diamati dan dipotret dari jauh. Rose yang bermaksud memutuskan hubungan gelapnya dengan seorang fotografer muda bernama Rui (Juliano Cazarré). Tentu saja Rose tidak berdaya melawan Rui yang berdada bidang, berkaki yang liat dan bertangan begitu kuat sekaligus memahami titik-titik erotika tubuhnya yang langsung saja melucuti pakaiannya begitu mereka bertemu. Setelah siang yang membakar itu, Rose tetap memutuskan hubungan mereka karena mendengarkan pesan suaminya. Rui, dengan hati luka, pulang ke apartemennya, tempat dia berdiam bersama kekasihnya Laura yang siang itu meninggalkannya karena sudah mengetahui peselingkuhan Rui dengan Rose.
Kumpulan cerita yang menarik, premis yang cerdas dan dialog yang cerkas pada beberapa segmen. Namun, karakter alamiah sebuah omnibus atau antologi (sastra maupun film) adalah: selalu ada cerita yang bersinar di antara cerita yang lemah.
Dua cerita yang lemah dalam film 360 justru yang berpotensi untuk menjadi segmen yang kuat. Keduanya sama-sama berupaya mengirim perasaan sepi dan keinginan memiliki. Yang pertama adalah kisah Anna, adik Mirka-- yang selalu harus menanti kakaknya ‘begituan’ –bertemu dengan Sergei, supir sekaligus tukang pukul si bos yang siang itu bergulat dengan Mirka di tempat tidur. Begitu saja mereka bertemu, berbincang dengan kaku, lalu lama-kelamaan saling mencair yang akhirnya menjadi hangat. Jika keduanya kemudian bisa merasa ada persamaan, itu bisa dipahami: mereka berdua gemar membaca dan mereka sama-sama merasa berdiri di tepi jalan sembari menatap hidup yang stagnan. Yang agak dipaksakan adalah saat Anna bersama Sergei memutuskan begitu saja kabur dan meraih masa depan mereka yang penuh ketidaktahuan.
Terlalu banyak titik yang penuh tandatanya, salah satunya adalah: apakah benar Anna adalah karakter yang akan semudah itu menyerahkan hidupnya pada anggota gangster yang baru saja dikenalnya beberapa jam sebelumnya, terlepas persamaan yang mereka miliki?
Cacat ini juga terjadi pada segmen Laura, bekas kekasih Rui yang kabur dan bertemu dengan Tyle (Ben Foster) –yang kita ketahui seorang narapidana pedofil—di bandara. Begitu saja Laura ingin bandel dan begitu saja dia mengajak mereka bermalam di kamar bandara. Sangat tidak meyakinkan.
Tetapi justru segmen John (Anthony Hopkins), seorang ayah yang terus menerus mencari anaknya adalah cerita paling menyentuh dan realistik. Kepada Laura yang ditemuinya di pesawat terbang, dengan enteng John bercerita bahwa puterinya sudah lama hilang karena kabur. Setiap kali John mendapat telpon dari polisi untuk mengidentifikasi jenazah, setiap kali pula John tak tahu apa yang harus dirasakannya. Lega, karena ternyata jeazah itu bukan tubuh puterinya sehingga dia masih bisa berharap? Atau kecewa, karena ternyata dia tercebur lagi ke alam ketidaktahuan akan nasib puterinya. John memperlihatkan sikap santai,nyaris tak peduli yang sungguh kontradiktif dengan cerita yang dia utarakan. Tetapi kita tahu, setiap malam, John adalah Ayah yang penuh duka dan berdarah. Setiap malam dia masih saja menatap foto-foto anaknya dan terus menerus mencari jejak anaknya hingga ke ujung dunia.
Jika Peter Morgan dan Fernando Meirelles berpijak pada kisah yang sederhana dan menyentuh seperti cerita tentang John, mungkin 360 bisa menjadi antology yang nyaris tanpa cacat. Meski demikian, dengan beberapa catatan kekecewaan itu, film 360 tetap layak ditonton sebagai bagian dari format omnibus yang sekarang tengah digandrungi sineas Indonesia.
Leila S.Chudori