TEMPO.CO, Jakarta-“Apakah sebuah karya seni cukup berharga untuk diburu meski harus mengorbankan nyawa?”
Itu pertanyaan penting Presiden AS FD Roosevelt kepada Frank Stokes (George Clooney).
Di penghujung Perang Dunia II, Nazi sudah mendekati titik kekalahan. Adolf Hitler telah mengeluarkan wasiat, jika Nazi kalah perang dan dia tewas, maka lima juta karya seni yang mereka ‘akuisisi’—alias yang dicolong dari berbagai negara Eropa—harus dihancurkan.
Adalah Frank Stokes-- yang terinspirasi dari tokoh nyata George L.Stout seorang ahli restorasi seni di Museum Harvard Fogg—yang melaporkan kepada Presiden AS Franklin D.Roosevelt tentang bahayanya “kehilangan pencapaian tertinggi dalam sejarah umat manusia” akibat pencurian dan penggondolan karya seni Barat yang dilakukan oleh Nazi secara sistematis. Tanpa panjang lebar, Presiden Roosevelt menunjuk George L.Stout untuk memimpin sebuah tim yang kelak dikenal dengan nama The Monuments Men yang bertugas mencari, menyusuri dan merebut kembali berbagai karya seni milik pribadi dan lembaga berbagai negara Barat.
Dari buku berjudul The Monuments Men: Allied Heroes, Nazi Thieves and the Greatest Treasure Hunt in History karya Robert M. Edsel dan Bret Witter, George Clooney kemudian menciptakan tujuh tokoh yang terinspirasi dari anggota MFFA (Monuments, Fine Arts and Archives Section The Monuments Men yang namanya diubah agar dia mempunyai lisensi kreativitas.
Frank Stokes segera saja merekrut beberapa nama besar di dunia sejarah seni rupa seperti, di antaranya Letnan James Granger ,terinpirasi dari tokoh James Rorimer, kurator Metropolitan Museum of Art, diperankan Matt Damon dan Preston Savitz yang terinspirasi dari tokoh Lincoln Kirstein, penulis dan kelak dikenal sebagai pendiri New York City Ballet diperankan oleh Bob Balaban. Ketujuh ahli seni yang belum punya pengalaman bertempur itu mendapatkan latihan militer dasar sebelum dicemplungkan ke Eropa Barat, karena dalam keadaan akhir Perang Dunia II, Nazi masih tetap membunuh musuh mereka.
Seluruh dua jam ini, film The Monuments Men ini hampir seperti gabungan film Inglorious Basterds (Quentin Tarantino) karena ingin memperlihatkan ‘kemampuan’ mengelabui dan menghajar Nazi dan komedi gaya Ocean Eleven (Steven Soderberg) karena ketujuh kurator fan sejarahwan seni rupa itu dengan lucu harus memanggul senapan dan diluncurkan di pantai Normandy sembari mencoba mengendus kemana benda seni berharga milik dunia Barat itu disimpan Nazi.
Frank Stokes membagi penyusuran ke beberapa tempat. Letnan Donald Jeffries( Hugh Bonneville) , diinspirasikan berdasarkan tokoh Ronald E.Balfour, sejarahwan asal Inggris, mendapatkan tugas untuk mencari patung Bruges Madonna yang dicuri Nazi dari gereja Kathedral di Belgia. Granger ditugaskan menemui Claire Simone (Cate Blanchett) , sejarahwan senirupa Prancis Galeri Nationale du Jeu Paume yang mencatat semua isi museum yang dijarah Nazi.
Semua anggota mempunyai tugas dan masing-masing melalui derita dan komedi masing-masing. Pencarian tentu saja tak mudah, karena , seperti yang dikatakan Stokes, Hitler bernafsu membuat museum untuk dirinya yang berisi semua karya seni besar colongan. Tetapi jika Nazi kalah, Hitler tak ingin karya-karya colongan dari museum maupun milik pribadi kalangan atas keluarga Yahudi itu kembali ke pemilik asal. Maka Stokes dan kawan-kawan berpacu dengan waktu. Beberapa tempat persembunyian benda seni yang akhirnya ditemukan kelompok Monuments Men itu, bukan hanya tak terduga tetapi sekaligus mengerikan karena kita menemukan banyak kekejian lain yang “disimpan” oleh Nazi di tempat-tempat itu.
Yang berharap film ini berlangsung dengan tegang seperti Inglorious Basterds akan kecewa, karena George Clooney sebagai sutradara mengekesekusi kisah ini dengan ringan dan renyah, sama seperti rasa popcorn yang disiram mentega dan garam. Ada humor lucu di antara mereka, meski sebetulnya saya mengharapkan terdengar debat atau celetukan jenaka mereka tentang lukisan atau seniman perupa yang lazimnya hidupnya penuh drama dan gosip itu. Clooney memilih humor perang dan bagaimana lucunya kaum sipil seperti mereka harus belajar memegang senjata.
Beberapa adegan menjadi seperti kartun dan para karakter tidak sempat berkembang, meski sebetulnya Clooney bisa memilih paling tidak dua atau tiga tokoh untuk disorot, karena mereka semua kelak menjadi tokoh-tokoh penting dalam seni rupa dunia. Ada bagian-bagian yang menyentuh, karena peperangan akan selalu memakan korban, dan yang penting kita kembali lagi pada pertanyaan Presiden Roosevelt:
“Apakah sebuah karya seni cukup berharga untuk diburu meski harus mengorbankan nyawa?”
Kamera meloncat ke sebuah museum di mana Frank Stokes tua (diperankan oleh Nick Clooney, ayah George Clooney) dengan cucunya menatap salah satu karya yang diselamatkannya: “Ya, sangat berharga.”
Leila S.Chudori